0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 22 - Pemberontakan Maya

"Dan bagiku ... kalian hanya orang asing!"

Perkataan tegas dari Maya membuat Lexa dan Axel terpaku. Dua pasang mata itu bergulir, memandang anak laki-laki yang masih merentangkan tangannya. Seolah-olah dengan bersikap demikian, ia bisa melindungi Maya dari mereka.

Jadi, bocah inilah keluarga yang Maya miliki? Selama ini mereka sudah bersusah payah menyewa detektif. Menggali informasi dari berbagai sumber, hanya untuk mencari tahu tentang keluarga dan tempat tinggal Maya. Namun ternyata, jawaban itu datang dengan sendirinya. Begitu mudah, tanpa bersusah payah.

"Benar! Kalian orang asing," cetus Rafa tanpa memedulikan tatapan tajam dari si kembar Adiwangsa.

"Kau pikir kami peduli? Ayo pulang, sekarang!" bentak Axel sambil mencoba mencengkeram lengan Maya. Namun lagi-lagi, bocah itu tidak membiarkannya. Rafa menepis kuat tangan Axel, membuat remaja itu semakin murka tiap detiknya.

Maya menggeleng tegas. Tangannya masih melingkar di pundak Rafa, siap menarik adiknya ke belakang kapan saja. "Rumah itu bukan tempatku pulang. Aku punya rumahku sendiri, dan itu bersama adik dan ibuku."

"Kau pikir perkataan kami hanya main-main, Maya? Kami hanya memintamu patuh, tapi sepertinya hal itu sangat sulit kau lakukan." Lexa menatap ke arah Axel yang juga tengah menatapnya. Keduanya mengangguk bersamaan, nyaris seirama.

Maya tiba-tiba merasa tidak aman. Masih dengan menahan bahu Rafa, ia menarik anak laki-laki itu mundur beberapa langkah. Matanya memandang waspada ke depan, tepat ke arah Axel dan Lexa yang saling berpandangan.

Tanpa aba-aba, Axel melesat cepat hingga membuat Maya panik. Gadis itu dengan sekuat tenaga menarik Rafa ke belakangnya sebelum Axel sempat melakukan apa pun.

Namun ternyata, itu hanya pengalihan. Lexa kini ada di hadapan Maya, menariknya menjauh dari Rafa dan mencengkeram tubuhnya erat-erat. Sementara itu, Axel bergerak untuk menahan Rafa agar tetap di tempatnya.

Mata Maya membelalak lebar. Gadis itu memberontak kuat, tetapi lilitan tangan Lexa sama sekali tidak goyah. Alih-alih, Maya merasa sesak karena eratnya cengkeraman Lexa.

"Lepaskan aku! Kalian tidak bisa melakukan ini! Berhenti memaksaku!" Maya berteriak frustrasi. Namun, keduanya seperti buta dan tuli.

"Kakak!" Rafa berseru. Bocah itu berusaha melewati Axel. Sayangnya, Axel bukanlah lawan yang seimbang untuk anak berusia sepuluh tahun.

"Salahmu sendiri, Maya. Kami sudah menyuruhmu dengan baik-baik, tapi kau mengabaikannya." Lexa mendorong Maya ke pintu gang. Di sana, tubuhnya yang terlempar ditangkap oleh dua pria tegap berbaju hitam.

Maya menjadi semakin panik ketika kedua pria tersebut menyeretnya menuju mobil yang entah sejak kapan ada di samping gang. Ia sudah menginjak, menggigit, dan berusaha menekan berat tubuhnya ke bawah. Namun, usahanya hanya menghasilkan kesia-siaan.

Rafa berteriak dari dalam gang, dan Maya merasa amarahnya mendidih. Ia hanya ingin bersama dengan keluarganya. Hanya itu. Mengapa mereka mencoba memisahkannya?

"Kalian jahat!" Maya berseru keras. Matanya menatap nyalang. Wajahnya memerah karena emosi yang tertahan sejak lama.

"Kalian tahu jika aku bukan Raya, jadi tolong ... biarkan aku pulang ...." Setetes air mata jatuh ke pipinya. Namun lagi dan lagi, tak ada yang peduli.

Detik berikutnya, Maya dipaksa masuk ke mobil. Sebelum ia sempat keluar dari pintu yang belum tertutup, Lexa lebih dulu masuk. Pintu mobil terbanting kuat. Dari pintu lain, Axel masuk dengan lihai.

"Jalankan mobilnya." Perintah dari Lexa membuat Maya tidak lagi bisa mengendalikan dirinya. Gadis itu menggedor kaca mobil dengan tangan kosong. Matanya membelalak ketika mobil mulai bergerak. 

Di belakang, Rafa berlari keluar dari gang. Bocah itu mencoba menyusul mobil. "Kakak! Jangan pergi lagi! Adik mohon!"

"Hentikan mobilnya! HENTIKAN!" Maya berteriak penuh emosi. Sayangnya, mobil justru melaju semakin kencang.

Maya menatap penuh permohonan pada Lexa dan Axel. Namun, tak ada yang peduli. Adiknya terus berlari, tetapi kecepatannya tidak dapat menyaingi mesin beroda empat.

Hingga akhirnya, Rafa terjatuh saat kakinya tersandung batu. Tubuh kecilnya membentur trotoar yang keras. Maya merasa jantungnya berhenti. "RAFA!"

"Stop the car! Please, I'm begging you! A-adikku- adikku jatuh!" Maya mengiba dengan putus asa. Air mata sudah membanjiri wajahnya.

"Diam! Berhenti merengek sebelum aku melakukan sesuatu yang tidak mungkin kau sukai!" Axel mencengkeram pundak Maya, memaksa gadis itu untuk duduk lebih tenang dan berhenti melihat ke belakang.

Maya menepis tangan Axel dengan kasar. Mata merahnya yang berurai air mata memandang Axel dengan tatapan marah yang bercampur luka. "Memangnya apa yang akan Kakak lakukan? Menamparku? Atau membunuh? Lakukan saja! Lakukan saja, Kak!"

"Tutup mulutmu, Sia-lan!" Axel menatap Maya tajam. Namun tidak seperti biasanya, Maya sama sekali tak terlihat takut. Gadis itu bahkan tidak melepaskan tatapannya pada Axel.

"Kalian benar-benar jahat! Adikku terluka, dia terjatuh saat lukanya bahkan belum diobati. Kalian ... kalian jahat ...." Maya meringkuk, menyembunyikan wajahnya di balik tangan. Tangisannya membuat tubuhnya bergetar.

"Apa kau lupa ada di tubuh siapa kau sekarang? Kehidupan lamamu telah usai. Kau bukan lagi bagian keluarga dari anak lusuh itu." Lexa mendengkus kecil. Matanya memandang Maya tanpa ekspresi.

"Adikku tidak lusuh!" sergah Maya dengan mata tajam yang langsung menghunus tepat ke arah Lexa. 

"Shut up! Kau pikir siapa dirimu berani menaikkan suaramu padaku?"

"Siapa aku?" Maya tertawa miris.  "Aku Maya! Dan bagiku ... kalian hanya orang asing!"

___

"Sesuatu terjadi?" tanya Garry ketika melihat Axel yang menggendong Maya keluar dari mobil. Wajah gadis itu tampak sembap, dan Garry tak bisa menahan rasa khawatirnya.

"We met one of her family members."

Kalimat itu membuat Garry tersentak. Ia memandang kedua anaknya, sebelum kemudian menatap Maya lama. "Dia ingin pergi?"

Axel dan Lexa mengangguk kompak. Tanpa kata, Garry mengambil alih Maya dari Axel. "Kita diskusikan nanti."

Sesampainya di kamar, pria itu membaringkan Maya ke tempat tidur. Garry tidak langsung pergi. Ia duduk di tepi ranjang, menatap Maya lamat-lamat.

Kelahiran Raya adalah sesuatu yang tak pernah ia harapkan. Seorang wanita penghibur menjebaknya. Memberikan obat perangsang di minumannya dan berpura-pura menjadi istrinya saat ia hampir kehilangan kesadaran.

Akhirnya, kehamilan yang direncanakan itu kemudian terjadi. Wanita tersebut datang ke rumahnya, menuntut pernikahan yang membuat istrinya hampir tiada karena serangan jantung. 

Ironisnya, justru istrinya-lah yang memaksa Garry untuk menerima wanita tersebut. Dia tidak ingin anak dari wanita itu lahir tanpa keluarga yang lengkap.

Sayangnya, luka hati memang tak pernah berbohong. Perlahan, warna di wajah Helena— istrinya— menghilang. Hingga hari itu tiba. Helena dan wanita itu terlibat pertengkaran hebat tentang gaya hidupnya yang tak lepas dari minuman beralkohol.

Satu bentakan, dan tubuh Helena terjatuh ke lantai. Para pelayan berdatangan, tetapi sang nyonya tidak lagi terselamatkan.

Garry memang tidak pernah mencintai Helena yang dijodohkan oleh orang tuanya. Meski demikian, rasa kosong itu ada. Ia hanya kehilangan wanita yang menghangatkan ranjangnya, tetapi anak-anaknya kehilangan sosok ibu.

Sejak saat itu, kebencian para Adiwangsa pada Raya semakin menumpuk.

"Tampaknya secara tidak langsung ..., kedatanganmu menyelamatkan Raya, ya? Gadis itu kini tak perlu lagi merasakan kebencian kakak-kakaknya." Garry bergumam sendirian. 

Namun sekarang, rasa benci pada Raya berubah menjadi obsesi tak terkendali pada Maya. Garry tidak bisa menampik perasaan tersebut. Ia juga merasa tidak bisa kehilangan Maya— sama seperti anak-anaknya.

Cara bicaranya yang manis, ekspresi malu-malunya yang lucu, segalanya tentang gadis 'asing' itu membuat para Adiwangsa tergila-gila.​
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
14 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS