[KTML] Bab 1 - Menjadi Figuran
""Run! Run as fast as you can, B*tch!" Suara tawa yang diringi langkah kaki bergema itu membuat jantung Violet berdentum lebih cepat. Violet berdoa da"
"Run! Run as fast as you can, B*tch!" Suara tawa yang diringi langkah kaki bergema itu membuat jantung Violet berdentum lebih cepat.Violet berdoa dalam hati, berharap bisa menyelamatkan diri dari kematian yang mengejarnya. Sayangnya, doa yang Violet ucapkan seolah mengkhianatinya.Gadis itu terjatuh ke tanah karena tidak sengaja tersandung akar yang mencuat. Panik, Violet berusaha mengabaikan rasa sakit berdenyut di kakinya dan hendak kembali berdiri.Namun lagi-lagi, dewi keberuntungan tidak berpihak padanya. Sebuah tangan menarik rambutnya dari belakang, membuat Violet memekik sakit."L-lepas!" Tarikan yang begitu kuat di rambutnya memaksa Violet untuk mendongak, membuatnya berhadapan dengan iblis pencabut nyawanya yang kini menampilkan seringai lebarnya."Dan kenapa aku harus melakukannya? Adikku juga memohon hal yang sama, tapi ayahmu sama sekali tidak peduli dan dengan ringan memenggal lehernya!" Dialah Victor, satu-satunya yang tersisa dari keluarganya setelah pembantaian yang ayah Violet lakukanDan karena hal tersebut, Violet-lah yang harus menanggung segalanya."Are you scared?"Sebuah belati melayang tepat di depan lehernya. Violet memejamkan matanya, siap menerima kematiannya."I wish you would burn in hell with your f*cking father!"Kepala Violet terjatuh dari tubuhnya, menggelinding ke tanah dengan debum pelan.
"KAKAK, ENDING MACAM APA INI?!" teriak Luna histeris. Gadis itu menatap kesal pada kakak perempuannya yang sedang menyetir. Kedua sudut bibirnya turun ke bawah, membentuk lengkungan cemberut.
Kakak perempuannya hanya mengulas senyum tipis, memilih fokus mengendalikan kemudi. Luna mencebik. Dia tidak suka protesnya diabaikan.
"Aku tidak suka endingnya. Kenapa malah Violet yang mati? Lalu di mana Hava? Dia seharusnya datang untuk menyelamatkan Violet!" celoteh Luna yang membuat kakak perempuannya tertawa kecil.
"Hmm ... mungkin karena Victor juga berhak mendapat kebahagiannya?"
Luna menggeleng tidak setuju. "Tapi Victor penjahatnya di sini!"
"Lebih tepatnya ayah Violet," koreksi kakak perempuannya dengan ringan.
"Y-ya benar, sih. Tapi 'kan tidak sampai harus membunuh Violet juga." Violet mendusel ke lengan kakaknya. Matanya menatap penuh permohonan.
"Adik kecilmu ini ingin ending yang lain. Pleaseee?"
Menghela napas, kakak perempuannya akhirnya mengangguk. "Kalau begitu, aku akan menulis dua en–"
Brakkk!
Tanpa sempat menyadari apa yang terjadi, Luna menemukan dirinya terhimpit tak berdaya di antara mesin mobil. Gadis itu menatap sang kakak dengan mata berkaca-kaca. Kakaknya ... sudah tak bernapas lagi.
Satu-satunya keluarganya telah meninggalkannya.
___
Suara gemericik air membuat gadis dengan rambut panjang itu terbangun. Ia mengusap matanya, menatap sekitar dengan bingung.
Bukankah ia sudah mati ...? Lalu mengapa ia tiba-tiba berada di toilet?
Tunggu-
"Toilet?!" Luna memekik kaget. Pandangannya turun ke bawah, menatap dirinya sendiri yang tengah duduk di atas closet.
Apa ia bermimpi tadi? Apa kecelakaan yang merenggut nyawa kakaknya itu tidak benar-benar terjadi?
Masih dalam keadaan bingung, Luna memilih untuk menyelesaikan buang air besarnya terlebih dahulu. Lima menit kemudian, gadis itu akhirnya keluar dari toilet.
"Hah?"
Mulutnya langsung ternganga lebar ketika melihat pantulan dirinya di cermin toilet. Siapa ... remaja seksi ini?!
Luna menangkup buah dadanya, lalu mendelik. Tidak, ini bukan miliknya. Punya Luna tidak sebesar ini!
Brak!
Pintu terbuka dari luar, menampilkan seorang pemuda berwajah datar yang membawa penggaris kayu panjang. Remaja itu menatap Luna dengan pandangan lelah. Apa lagi sekarang? Apa gadis itu sudah gila karena miliknya terlalu besar?
Luna menoleh kaku. Pupil matanya mengecil. "AAAAAA, ADA ORANG MESUM!"
"Berisik!" Laki-laki dengan wajah seperti aktor papan atas itu memandangnya tajam.
Luna terpaku sejenak. Tidak- lebih tepatnya lama. Maksudnya, dengan wajah seperti itu, siapa yang tidak akan terpesona?
Hidungnya mancung, bulu hidungnya tidak terlihat, rahangnya mulus, alisnya setebal paha. Tidak berhenti di sana, laki-laki itu juga memiliki garis mata memukau yang akan membuat siapa saja bertekuk lutut. Astaga, siapa sosok memesona ini?
"Urusanmu itu sudah selesai, 'kan? Cepat kembali ke lapangan. Hukumanmu masih kurang dua putaran," kata laki-laki itu dengan nada malas setengah muak.
"Hukuman?" Luna melongo. Apa-apaan?
Dengan mata memicing, gadis itu menatap name tag yang tertera di seragam laki-laki tersebut. Hava ... Pratama? Sekali lagi, Luna tidak bisa mengendalikan rahangnya yang terbuka lebar.
"K-kau Hava? Hava yang itu?!"
Mata Hava terlihat memicing tajam. Sepertinya, kesabaran remaja itu mulai terkikis habis. "Berhenti mengatakan omong kosong hanya untuk menghindar dari hukuman."
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Hava menarik Luna yang masih cengo keluar dari toilet. Cengkeraman itu baru ia lepaskan saat keduanya sampai di lapangan.
Terlihat di sana ada beberapa murid yang tengah berlari memutari lapangan. Luna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sebenarnya apa yang terjadi?
Pertama, ia benar-benar asing dengan lingkungan sekolah ini. Kedua, tubuh ini bukanlah miliknya. Ketiga, kenapa Hava Pratama menjadi nyata?
Luna yakin pemuda itu hanyalah tokoh utama yang kakaknya tulis. Semua ini sungguh tak masuk akal.
Tidak mungkin jiwanya masuk ke buku yang kakaknya tulis, 'kan? Kalau begitu ... semua yang tadi ia alami bukanlah mimpi.
Kecelakaan itu benar-benar terjadi. Dan akibatnya, ia dan kakaknya meninggal dengan tragis.
Bagaimana ini? Luna ... benar-benar tidak bisa hidup tanpa kakaknya. Selama ini, hanya kakaknya-lah yang menjadi penyemangat hidupnya.
Dan kini, tanpa sang kakak, Luna bisa apa?
"Aku hanya memintamu berlari. Tidak perlu menangis seperti itu." Perkataan Hava membuat Luna tersadar dari lamunannya.
Gadis itu meraba pipinya. Benar saja, ada air mata di sana. Ia cepat-cepat mengusapnya dengan kasar. "Aku hanya perlu berlari dua putaran, 'kan? Fine, I'll do it."
Saat Luna hendak mengayunkan kakinya, sebuah tangan tiba-tiba menahannya. Usut punya usut, ternyata Hava-lah pemilik tangan tersebut.
"Anggap saja hukumanmu selesai. Kembali ke kelas, jangan sampai telat," kata Hava dengan nada yang sedatar wajahnya.
Luna terpaku. Ia menatap Hava, lalu ke arah tangannya yang masih laki-laki itu pegang. "Sungguh?"
Hava mengangguk sekali. Ia melepaskan tangannya dari Luna, lalu melangkah ke belakang sekali. Luna tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan dengan cepat berlalu pergi.
Namun, masalah selanjutnya datang. Luna tidak tahu di mana kelasnya berada. Ia benar-benar tidak mengetahui informasi apa pun dari tubuh yang ditempatinya ini kecuali nama yang tertampang di seragamnya— Bulan Melati.
Nama apa-apaan itu?
Luna berdecak, mengumpat dalam hati sambil terus berjalan entah ke mana. Ia mencoba menggali ingatannya. Akan tetapi, sejauh apa pun ia mencoba mengingat, nama Bulan Melati tak pernah tertulis di buku yang kakaknya tulis.
Lantas, siapa Bulan sebenarnya?
Luna mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Seharusnya ia berada di akhirat bersama kakaknya, bukannya malah terdampar di buku dan menjadi figuran yang tak penting sama sekali!
___
Alooo, selamat datang! Kiss the Male Lead ini short story, ya. Jadi, nggak akan lebih dari sepuluh bab ┏Ê• •á´¥•Ê”┛

omagaa up, semangat kak next nya muah muah
BalasHapusAduh, jadi tersipu ( ͡°⁄ ⁄ ͜⁄ ⁄Ê–⁄ ⁄ ͡°)
Hapus