[BYT] Bab 21 - Bukan Orang Asing
"Ketika anak-anak tersebut menoleh terkejut padanya, Maya dengan cepat menarik para perundung itu menjauh dari adiknya. "Pergi kalian!" Sontak saja, a"
Ketika anak-anak tersebut menoleh terkejut padanya, Maya dengan cepat menarik para perundung itu menjauh dari adiknya. "Pergi kalian!"
Sontak saja, anak-anak itu berlarian pergi keluar dari gang. Maya masih menatap tajam punggung mereka hingga tak terlihat lagi, sebelum kemudian memusatkan seluruh perhatiannya pada bocah laki-laki yang meringkuk seperti bola.
"Bagian mana yang sakit? Apa kau bisa berdiri?" Dengan lembut, Maya membantu Rafa untuk duduk. Gadis itu meraih tangan adiknya, mencari luka yang kemungkinan besar ditorehkan anak-anak tadi.
"Jangan menyentuhku!" Dengan kasar, Rafa menarik tangannya dari Maya. Matanya yang berkaca-kaca memandang penuh kewaspadaan pada remaja asing di depannya.
Maya tersentak kaget. Ah, benar. Kini, ia tidak lagi berada di tubuh aslinya. Rafa jelas tak mengenali dirinya. Meski demikian, sikap defensif itu tetap membuat hati Maya merasa ngilu.
"A-aku- ah, bagaimana jika aku mengantarmu pulang? Aku akan memastikan anak-anak nakal itu tidak mengganggumu lagi. Kita juga perlu mengobati luka–"
"Jangan sok perhatian! Kau hanya orang asing, jangan bersikap seolah-olah mengenalku." Dengan susah payah, Rafa berdiri sambil berpegangan pada tembok. Matanya yang nyalang mengarah tepat pada Maya.
Maya kembali terpaku. Tangannya yang hendak membantu Rafa berhenti di udara, melayang dengan kaku. "Maaf ... aku hanya mencoba membantu."
"Aku tidak membutuhkan bantuanmu." Rafa membuang muka. Ada setetes air mata yang jatuh ke pipinya. Jantung Maya bagai diremas tangan tak kasat mata. Wajahnya terlihat menahan sakit, dan yang bisa Maya lakukan hanya berdiri, menatap, tanpa bisa melakukan apa pun.
Adiknya ... tidak pernah terlihat 'seberantakan' ini. Luka memar ada di mana-mana, dan Maya yakin masih ada lebih banyak lagi yang tersembunyi di balik pakaian penuh lumpur itu.
Maya meremas ujung bajunya dengan kuat. Matanya yang berkaca-kaca menatap adiknya dengan sorot memohon. "Rafa ... jangan sampai terluka lagi, ya? Nanti siapa yang akan merawat Kakak?"
Detik itu juga, Rafa memandangnya dengan mata membelalak. Bocah itu mundur secara perlahan, menatap Maya penuh ketidakpercayaan. Tidak mungkin.
Tidak mungkin orang asing bisa mengetahui kalimat yang sering kakaknya ucapkan saat dia sakit atau terluka karena bermain.
"Lututmu terluka lagi, Rafa?" Maya menepuk sisi ranjangnya, meminta sang adik duduk di sana. Tatapan matanya terlihat sendu, dan Rafa membencinya. Ia benci membuat kakaknya khawatir.
"Hanya luka kecil kok, Kakak." Rafa meringis kecil saat ia mendudukkan dirinya di samping sang kakak yang berbaring lemah.
Maya memandang Rafa lama. Tangannya terangkat, membelai pipi anak laki-laki itu dengan lembut. "Rafa ... jangan sampai terluka lagi, ya? Nanti siapa yang akan merawat Kakak?"
Kenangan itu menghantam Rafa seperti bom. Dadanya bergemuruh hebat.
"Kakak ...?" Tangan Rafa terkulai di sisi tubuhnya. Wajahnya sudah banjir dengan air mata. Tidak mungkin seperti yang ia pikirkan, 'kan? Rafa tidak salah ingat ketika tubuh kakaknya berubah kaku, dingin, dan tak merespons panggilannya.
Lantas ..., siapa orang yang berdiri di depannya itu?
"Kakak senang Rafa masih mengingat Kakak." Senyum senang bercampur haru terulas di bibir Maya.
Untuk kedua kalinya, mata Rafa membulat lebar. Tatapan matanya, cara bicaranya, segalanya terasa sama— benar-benar serupa dengan kakak perempuannya yang telah 'pergi'.
Dengan ragu, Rafa menggerakkan kakinya. Satu langkah. Dua langkah.
Kini, bocah itu berdiri tepat di depan Maya. Rafa mendongak, lalu tanpa kata, kedua tangannya memeluk remaja asing di depannya.
Maya terenyuh. Ia menyamakan tinggi badannya dengan Rafa, kemudian memeluk bocah itu erat dengan sayang. Tubuh ringkih penuh luka tersebut terasa bergetar di pelukannya, membuat Maya tak kuasa lagi menahan air matanya.
"Apa kau benar-benar kakakku?" bisik Rafa sambil menggenggam erat ujung baju Maya. Rafa takut. Apa ini mimpi? Jika demikian, Rafa tak ingin bangun lagi.
Hidupnya berantakan sejak kakaknya tiada. Ibunya berubah menjadi pendiam dan tubuhnya semakin kurus tiap harinya. Anak-anak lain jadi sering mengejek dan memukulinya. Karena kini, tidak ada lagi kakaknya yang melindunginya.
Meski lemah, dulu kakaknya-lah yang berdiri di depannya saat ada yang mengganggunya. Kakaknya akan bermain dengannya, mendengar ocehannya yang tak penting, dan mengusap puncak kepalanya dengan sayang.
Namun kini ..., semuanya sirna. Cahaya di keluarga kecilnya telah menghilang di saat tanah mengubur jasad kakaknya.
"Ya, Rafa. Ini, Kakak ...." Maya menangkup wajah Rafa. Dengan lembut, ia mengusap air mata yang membasahi wajah sang adik.
"Kenapa wajah Kakak berubah?" tanya Rafa polos. Matanya yang berlinang air mata mengerjap pelan.
Maya terpaku. Jangankan Rafa, ia sendiri pun masih bingung mengapa semua ini terjadi. Bukankah ia seharusnya sudah meninggal alih-alih terjebak di tubuh Raya?
"Maya? Apa yang kau lakukan di sana?" Suara dari pintu gang yang tiba-tiba terdengar itu membuat Maya menoleh cepat.
Lexa ada di sana, bersama dengan Axel yang keningnya mengerut tajam. Mereka berdua terlihat bersimpah keringat. Dengan spontan— nyaris seperti tidak sadar— Maya menyembunyikan Rafa di belakang tubuhnya.
"Kakak?" tanya Rafa bingung. Anak laki-laki itu ingin melihat, tetapi Maya menahan tubuhnya.
"A-aku ... aku hanya–" Maya gelagapan, bingung harus mencari alasan apa ketika kembar Adiwangsa itu berjalan ke arahnya.
"Who's that behind you? Dan kenapa kau pergi begitu saja? Apa kau tak tahu betapa khawatirnya kami? Kami pikir kau sudah diculik preman dan dijual di pasar gelap!" cecar Axel yang lebih mirip seperti omelan ibu-ibu yang kehilangan anaknya.
Maya mengulum bibirnya dengan gugup. "Aku tadi melihat ada anak-anak yang merundung anak yang lain. Jadi umm ... aku mencoba menyelamatkannya."
"And you think that would be safe?" Lexa mengarahkan tatapan tajamnya pada Maya, membuat gadis itu langsung berusaha menatap ke arah lain.
"M-mereka hanya anak-anak," jawab Maya lirih.
"Kau hanya beruntung tidak ada orang dewasa di gang ini. Dan bahkan jika mereka hanya anak-anak, kau tidak sekuat itu untuk melindungi diri bila mereka mengeroyokmu." Perkataan tajam Lexa seperti mendaratkan tusukan pisau di jantungnya.
Benar. Maya memang selemah itu dan dia membenci dirinya sendiri yang seperti ini.
"Tapi aku hanya ingin membantunya," bantah Maya takut-takut.
Axel mendelik. Dia sangat tidak menyukai sisi keras kepala Maya. Terutama Lexa. Remaja itu ... sangat membenci orang yang membantah ucapannya.
"You're not a hero, Maya. Let's go home, before I lose my patience. Now." Rahang Lexa tampak mengeras, dan Maya menjadi semakin panik. Bagaimana ini? Tidak mungkin ia meninggalkan Rafa begitu saja. Tidak ketika Maya bahkan tak tahu apakah ia dapat bertemu dengan adiknya lagi.
Maya langsung menggelengkan kepalanya dengan panik. "Aku harus mengobatinya dulu."
"Dan kau pikir kami harus peduli? Don't make us force you, Maya." Axel menggapai lengan Maya, memaksa gadis itu untuk berdiri.
Namun sebelum hal itu terjadi, sengatan tajam tiba-tiba terasa di tangannya. Axel mengalihkan pandangannya, menatap bocah asing yang menggigit tangannya dengan kuat-kuat.
"What the fuck are you doing?!" Ketika Axel hendak mendorong Rafa, Maya dengan cepat menahan lengan Axel, mencoba menghentikan remaja itu.
"J-jangan, Kak." Maya menarik Rafa menjauh, melindungi adiknya dengan tubuhnya sendiri.
"Jangan memaksa Kakakku!" Rafa dengan lincah keluar dari lilitan tangan Maya. Anak laki-laki itu lantas berdiri di depan Maya, lalu merentangkan tangannya lebar-lebar.
Tangan Axel mengepal erat. Urat-urat terlihat mencolok di lehernya. "Berani-beraninya kau, Bocah!"
"Kak, tolong jangan membentaknya!" Maya berseru tidak terima, yang mana hanya semakin membuat amarah Axel berkobar. Gadis itu memegangi Rafa, berjaga-jaga jika Axel akan melakukan sesuatu.
Lexa menepuk bahu Axel sekali, berusaha menenangkan adik kembarnya yang sudah terbakar emosi. Matanya yang membentuk laser tajam terarah tepat pada Maya.
"Kau menaikkan suaramu pada kami, hanya untuk membela orang asing?" Lexa melangkah maju, yang membuat Maya mencoba menarik Rafa menjauh. Sayangnya, anak laki-laki itu bersikeras untuk berdiri di depan Maya dan melindungi sang kakak.
"Aku bukan orang asing!" seru Rafa sambil memandang Lexa tajam. Bocah itu seakan mendapat keberaniannya kembali setelah bertemu dengan kakak tersayangnya.
"Benar." Tangan Maya terkepal, menatap Axel dan Lexa dengan tegas. "Rafa bukan orang asing bagiku. Dia adalah adikku, keluargaku."
"Justru ... kalianlah orang asing itu."
___
Tolong maafkan Ao yang nggak up² ini T_T
Ah, btw, mulai bulan depan, Ao bakal mulai aktif lagi. Doakan minimal bisa update dua hari sekali ya~
Kalau kalian jadi Maya, kalian bakal gimana?

aku bakal balik ke keluarga pertama ny huaa, kasian ibu maya
BalasHapusAwww, Seneng banget ada yang mikir begini. Tadinya Ao pikir Maya bakal dicap menye² kalau dia maunya balik ke keluarganya T~T
Hapuslanjut kaaa seru bangettt
BalasHapusDitunggu yawww :3
Hapusthorr ngegantung bangeetttttt T~T
BalasHapusHihihihi~
HapusSial malah habis
BalasHapusSemua akan habis pada waktunya (〃゚3゚〃)
HapusOmayyygoddddd gantung kakk, hikssss tapi semangat kakkk. Kalo bisa sih double up hehehe, ngelunjak dikit
BalasHapusDi tabung aja biar terasa double up ~ ( ̄∇ ̄)
Hapusaku agak takut sih, si maya bakal jadi bahan obsesnya si kembar dan yang lain T~T
BalasHapussecara keluarga asli maya bakal ketahuan bentar lagi, takut mereka apa apain adek sama ibunya maya
Tenang~ nggak bakal kenapa2, kok :3
HapusCharacter kayak maya yg aku carik.lembut polos tapi bkn ppb or menye2 gitu..
BalasHapusPbb apaan? T_T
Hapussemangaaaaat kak
BalasHapusMakasih semangatnya (❁´◡`❁)
Hapus