[BYT] Bab 9 - Ajakan Sky
"Garry melangkah ke meja makan. Keningnya seketika mengerut saat menemukan belum ada satu pun makanan yang tersedia. Dengan langkah tegap, ia melangk"
Garry melangkah ke meja makan. Keningnya seketika mengerut saat menemukan belum ada satu pun makanan yang tersedia.
Dengan langkah tegap, ia melangkah menuju dapur. Di dalam sana,terlihat beberapa pelayan yang tampak kalang kabut menyiapkan sarapan.
"Ke mana yang lain? Kenapa sarapan belum siap?" tanya Garry tanpa basa-basi. Matanya menyorot tajam setiap pelayan yang ada di sana.
"Ma-maafkan kami, Tuan Besar. Sepuluh menit lagi sarapan akan tersaji di meja makan," ucap seorang pelayan mewakilkan rekan-rekannya.
Tatapan Garry semakin menajam. "Kau belum menjawab pertanyaanku yang lain. Di mana yang lain?"
Para pelayan saling berbagi pandangan, sebelum kemudian salah satu menjawab dengan lirih, "T-tuan Muda Kedua memecat mereka semalam."
Jawaban itu membuat Garry menghela napas panjang. Sambil berdecak, pria itu kemudian mengibaskan tangannya, memberikan perintah agar para pelayan melanjutkan membuat sarapan.
Sementara itu, Garry kembali ke meja makan. Di sana, Axel sudah duduk bersama Maya dan Lexa dengan wajah tanpa dosa.
"Mengapa kau memecat begitu banyak pelayan hanya dalam semalam, Axel? Karena sikap sembrono-mu itu, sarapan jadi tertunda." Garry menarik kursi, lalu duduk di sana. Wibawa yang terpancar dari kepala keluarga Adiwangsa itu memang tidak main-main.
Maya refleks menundukkan kepalanya, memainkan jari-jemarinya dengan gugup. Tatapannya tadi tidak sengaja beradu dengan Garry, dan Maya tidak bisa menahan rasa takutnya.
Axel memutar bola matanya dengan dramatis. "Mereka menghina keluarga kita. Lalu haruskah aku diam dan membiarkan para pelayan rendahan itu begitu saja?"
Garry kembali mengembuskan napas panjang. "Setidaknya bicarakan hal ini denganku terlebih dahulu."
"Tck! Sudahlah, Ayah. Jangan membesar-besarkan masalah. Mereka tidak sepenting itu." Axel berdecak kesal. Remaja itu kemudian lebih memilih fokus pada Maya dengan menjahilinya. Sementara Lexa hanya memainkan ponselnya sambil sesekali mengusap kepala Maya.
Garry menatap interaksi ketiga anaknya lamat-lamat. Apa benar gadis dengan rambut dikuncir dua itu bukanlah Raya?
Dari segi penampilan dan sikap memang tampak berbeda. Namun, Garry masih tidak yakin. Otaknya menolak hal-hal tak masuk akal yang jauh dari realita.
***
Ketiganya kini berada di dalam mobil, hendak pergi ke sekolah. Ada satu supir dan satu bodyguard yang duduk di kursi depan. Keduanya direkrut untuk mengantar dan menjaga anak-anak dari keluarga Adiwangsa.
"Di mana kau tinggal sebelumnya?" tanya Lexa pada Maya yang duduk di sampingnya. Di sisi lainnya, ada Axel yang tengah bermain ponselnya sambil diam-diam mendengarkan. Pemuda itu terlalu gengsi untuk masuk ke percakapan meski sangat penasaran dengan kehidupan Maya sebelumnya.
"Di kota lain," jawab Maya ragu-ragu. Entahlah, ia merasa tidak nyaman jika harus mengungkapkan semuanya pada Lexa.
"Di mana?" tanya Lexa lagi. Kali ini terdengar lebih tegas dan menuntut, membuat Maya bingung harus menjawab apa.
"Kau tak ingin menjawabnya? Kenapa?" Lexa tiba-tiba mengapit dagu Maya dengan jarinya, memaksa gadis itu agar menatapnya.
Mata dingin Lexa terasa seperti menusuk bola mata Maya. "Apa kau takut kami akan melukai keluargamu? Apa bagimu, kami begitu kejam, Maya? Bukankah kita juga keluarga?"
Maya berusaha menelan salivanya. Ingin sekali ia berteriak jika dirinya bukanlah bagian dari keluarga menyeramkan ini. Sayangnya, keberanian Maya bahkan tak sampai seujung kuku.
"Bu-bukan begitu, aku hanya belum bisa mengatakannya," ucap Maya terbata-bata. Di samping kirinya, Maya bisa merasakan tatapan Axel yang tidak kalah tajamnya dengan milik Lexa.
Maya merasa terjebak. Dulu, ia pikir sangat tidak mungkin Axel dan Lexa adalah saudara kembar. Mereka sama sekali tidak mirip meski saling berbagi warna iris. Kepribadian keduanya juga bertolak belakang.
Namun sepertinya, Lexa dan Axel memiliki satu kesamaan— mereka berbakat dalam mengintimidasi orang lemah. Dan di sini, Maya-lah orang lemah itu.
"Baiklah. Jika kau sangat bersikeras untuk merahasiakan kehidupan lamamu, kami akan mencarinya sendiri. Tentunya, dengan cara kami." Lexa melepaskan dagu Maya.
Bersamaan dengan itu, mobil berhenti tepat di depan gerbang megah yang mengelilingi dua gedung dengan jenjang yang berbeda. Lexa keluar lebih dulu, disusul Maya, lalu Axel.
"Kenapa Kakak sangat penasaran?" tanya Maya tanpa berani memandang si kembar.
'Karena kami ingin memastikan untuk menjauhkanmu dari kehidupan lamamu'. Sayangnya, Lexa dan Alex hanya bisa mengatakan kalimat itu dalam hati. Mereka tidak ingin terlalu menakuti Maya.
Gadis itu ... terlalu rapuh dan berharga.
***
Di jam istirahat, Maya mengeluarkan ponsel milik Raya dan menggulirnya dengan bosan. Ia sudah memeriksa ponsel Raya kemarin malam, tetapi benar-benar tidak ada petunjuk mengapa ia berada di tubuh milik gadis tersebut.
Hanya ada beberapa kontak, itu pun milik Sky, Radit, serta beberapa teman sekelas. Yang mengejutkan Maya, Raya bahkan tidak menyimpan nomor keluarganya.
"Ray, Raya!" Sky mengguncang pundak Maya ketika gadis itu tidak mendengar panggilannya.
Maya menoleh kaget. Ia memberikan senyum sebagai tanda permintaan maaf pada Sky. Berada di raga Raya lebih dari satu minggu tidak membuat Maya langsung terbiasa.
Terkadang, ia tidak menyahut ketika seseorang memanggilnya dengan nama Raya. Namun jika dengan Axel dan Lexa, Maya tidak perlu mencemaskan hal tersebut— karena mereka selalu memanggilnya dengan nama aslinya.
Yang entah bagaimana, sisi itu membuat hati Maya sedikit menghangat. Setidaknya, ada beberapa orang yang 'benar-benar' mengenalnya.
"Kau jadi suka melamun sekarang," gerutu Sky sambil meniup poninya yang berwarna nyentrik. Maya kadang heran. Mengapa guru-guru di sekolah ini mengizinkan para murid untuk mengecat rambutnya?
"Maaf," kata Maya dengan tulus.
Sky sedikit tersentak. Ia menatap Maya dalam-dalam, lalu tertawa kecil. Tidak, itu bukanlah jenis tawa yang membuat orang lain akan ikut tertawa. Namun ..., tawa sinis yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Raya, aku tidak bisa menahannya lagi. Bagaimana jika kita melompat ke luar jendela sekarang?" Ajakan seringan bulu dengan nada ceria itu membuat Maya membelalak.
"S-Sky ..., apa maksudmu?" Maya berharap ia salah dengar tadi. Wajahnya terlihat setengah pucat, membuat Sky terkikik tak terkendali.
"Just kidding, Ray!" Sky tertawa. Kali ini, tawa tersebut tidak terdengar menakutkan. Namun tetap saja, bagi Maya, candaan tentang kematian bukanlah sesuatu yang lucu.
"Oh ya, mau menginap di rumahku nanti malam? Rumah jadi terasa kosong karena kau tidak pernah ke sana lagi," ucap Sky dengan semangat baru, seolah-seolah apa yang dikatakannya beberapa detik yang lalu hanyalah angin lalu.
"Ra- aku sering menginap di sana?" tanya Maya berbasa-basi. Sejujurnya, ia mulai takut pada Sky sekarang. Dan Maya tidak mungkin menginap di rumah gadis itu.
Sky mengangguk berkali-kali. "Kau bahkan lebih sering menginap di rumahku daripada di rumah keluarga Adiwangsa."
"Bagaimana? Jadi menginap di rumahku, Ray?"

semangattt kaaa cerita km seruuu, aku nungguin bab selanjutnyaa
BalasHapusASDFGHJKL, makasih semangatnya. Ditunggu, ya (❁´◡`❁)
Hapus