[BYT] Bab 7 - Kutu Buku
"Tiga hari kemudian, tepat di pagi hari, beberapa pelayan sudah mondar-mandir di kamar Maya. Gadis itu masih mengantuk saat satu pelayan membantunya me"
Tiga hari kemudian, tepat di pagi hari, beberapa pelayan sudah mondar-mandir di kamar Maya. Gadis itu masih mengantuk saat satu pelayan membantunya memakai seragam.
"Eh, seragam?" Maya menunduk, menatap seragam yang sudah terpasang di tubuhnya dengan rapi.
Ia bahkan baru menyadari jika sejak tadi, para pelayan tengah sibuk menyiapkan peralatan sekolahnya. Maya kira ia akan selamanya di kurung di kamar ini. Untungnya, ayah Raya masih berbaik hati mengizinkannya melanjutkan sekolah.
Pemikiran tersebut membuat semangat Maya yang sempat padam kembali membara. Ia benar-benar bosan terkurung di kamar ini. Jadi, pergi ke sekolah sudah seperti angin segar baginya.
Setelah semuanya siap, kini Maya dan anggota keluarga Adiwangsa lainnya duduk di meja makan untuk sarapan. Dalam tiga hari ini, Maya semakin dekat dengan Lexa dan Axel.
Meski tentu saja, rasa takut itu tetap ada. Maya masih ingat bagaimana Lexa mengintimidasinya dan bagaimana Axel berteriak marah padanya.
"Makan yang banyak. Aku tidak ingin mendengar ada drama kau pingsan saat jam pelajaran," ucap Axel dengan ketus sembari meletakkan lebih banyak daging ke piring Maya.
Maya mengangguk kaku. Ia menatap Garry takut-takut saat pria itu memandang keduanya dengan menyelidik.
"Kalian terlihat lebih dekat akhir-akhir ini." Garry kemudian mengalihkan pandangannya pada Lexa, meminta penjelasan.
"Nanti," jawab Lexa singkat. Ekspresinya tetap datar saat ia memotong daging dengan luwes.
Garry mengangguk saja. Setelah sarapan, Axel dengan cepat menarik tangan Maya ke mobil yang akan mengantar mereka.
Karena gedung sekolah menengah pertama dan atas masih berada di satu area, maka ketiganya berangkat sekolah bersama. Biasanya Raya akan berangkat sendiri. Namun tampaknya, kebiasan tersebut otomatis berubah dengan adanya jiwa Maya yang mengisi raga Raya.
Sesampainya di gerbang, Axel kembali menarik Maya yang terpaku melihat betapa besarnya sekolah tersebut. Apa ia sedang bermimpi? Maya seperti melihat bangunan dari abad pertengahan.
"Karena ini adalah hari pertama, aku akan mengantarmu ke kelas. Kau pasti tidak tahu di mana tempatnya, 'kan? Tck, kau memang sangat merepotkan." Axel terus berceloteh sambil menarik Maya masuk. Lexa hanya diam, mengikuti keduanya dari belakang.
Keberadaan dua murid sekolah menengah atas itu tentu saja membuat setiap mata memandang penasaran. Hanya saja, mereka tidak berani bertanya karena takut dengan tatapan dingin Lexa.
"Raya!" Sky yang baru sampai dengan supirnya, langsung berteriak sembari berlari menghampiri Maya yang terlihat bingung.
Sebelum Sky sempat memeluk Maya, Axel lebih dulu menarik menarik gadis itu ke belakang tubuhnya. "Jangan peluk-peluk!"
Dahi Sky langsung membentuk perempatan jalan. Ia menatap garang Axel. "Apa-apaan, sih, Kak? Raya teman aku!"
Tatapan Axel seketika menajam. Genggaman tangannya pada lengan Maya menguat. "Kau hanya teman Raya, sedangkan aku kakaknya. Bukankah sudah jelas siapa yang lebih berhak? Pergi sana! Kau membuat mood-ku berantakan."
Sky mendelik tidak terima. "Dasar tidak tahu malu! Memangnya sejak kapan Raya punya saudara? Kau sendiri yang tak mengakui Raya dulu!"
Perkataan itu membuat rahang Axel mengeras. Ia tanpa sadar mengeratkan genggaman tangannya hingga membuat Maya meringis sakit.
"Kak, sakit," kata Maya lirih sambil menarik kecil tangannya dari genggaman Axel.
Axel berdecak. Meski demikian, ia tetap melepaskan tangan Maya. Terlihat jelas ada jejak kemerahan di sana, yang membuat amarah Sky memuncak.
"Seperti itu yang katanya seorang kakak?" sindir Sky sambil memutar bola matanya.
Ia dengan cepat meraih tangan Maya yang lain dari punggung Axel, lalu mengajaknya berjalan menuju kelas tanpa kata. Axel mengepalkan tangannya. Pemuda itu ingin mengejar Maya, tetapi Lexa lebih dulu menggeleng.
"Biarkan saja. Jangan sampai dia curiga jika temannya bukanlah 'Raya'." Lexa kemudian berbalik. Kini langkahnya menuju gedung sebelah, membuat Axel tak memiliki pilihan lain selain mengikuti langkah kakak kembarnya.
Sayang sekali, mereka tidak menyadari jika seseorang mendengarkan perkataan tersebut. Di sisi lain, Sky dan Maya akhirnya sampai di kelas.
Kondisi kelas yang sudah ramai membuat kehadiran Maya menjadi pusat perhatian. Pasalnya, gadis itu tidak masuk ke sekolah hampir satu bulan lamanya.
"Kau tidak diapa-apakan mereka, 'kan?" tanya Sky begitu duduk di kursinya. Maya yang masih terlihat linglung lantas duduk di sampingnya.
"Temannya Raya saat di rumah sakit, ya?" Bukannya menjawab, Maya justru mengajukan pertanyaan. Ia memang merasa wajah Sky cukup familier, tetapi takut salah mengenali.
Sky mengerutkan keningnya sebentar, merasa aneh dengan cara bicara 'Raya' yang seolah-olah mengatakan jika dia adalah orang lain. Namun dengan cepat, Sky menepis pikiran tersebut kala mengingat penjelasan dokter beberapa minggu yang lalu. Karena sepulangnya Maya dulu, dokter menjelaskan kondisi 'Raya' pada Sky dan Radit karena Garry tidak ingin mendengar apa pun.
'Memang dasar ayah baji-ngan!' umpat Sky dalam hati.
"B-bukan, ya?" Maya jadi merasa tak enak saat tidak mendapat jawaban setelah beberapa menit.
"Benar, kok. Namaku Sky. Ingat Radit? Nah, dia juga sekolah di sini, tapi beda kelas. Otaknya mana sampai kalau di kelas ini," jelas Sky sambil terkikik pelan.
"O-oh, iya." Maya mengangguk canggung. Gawat. Apa ini kelas unggulan?
Maya mengusap wajahnya dengan frustrasi, yang membuat Sky bertanya-tanya. "Kau kenapa?"
"Bukan apa-apa." Maya menggeleng cepat.
Tebakan Maya benar.
Di jam istirahat, Maya langsung menjatuhkan kepalanya ke meja. Ada begitu banyak materi yang tidak dimengertinya. Bahkan beberapa tidak pernah Maya pelajari sebelumnya.
Di kehidupan sebelumnya, Maya yang berusia tiga belas tahun baru saja merasakan menjadi murid sekolah menengah pertama. Namun sekarang, ia harus menghadapi materi kelas sembilan di kelas unggulan.
Maya merasa otaknya terbakar!
"Kau tak apa-apa? Apa kepalamu masih sakit?" tanya Sky bertubi-tubi saat melihat wajah lelah Maya.
Maya menggeleng lemah sambil merapikan bukunya. "Hanya sedikit lelah."
Tanpa sengaja, matanya menangkap buku milik Arkana yang sengaja dibawanya. Maya ingin mengembalikan buku tersebut ke pemiliknya.
Maya menatap ke penjuru kelas. Mana yang Arkana?
"Sky, yang namanya Arkana mana?" tanya Maya pada Sky yang hampir tersedak ludahnya sendiri. Ia sama sekali tidak menyangka Maya akan mengetahui tentang Arkana.
"Dari mana kau tahu soal si kutu buku itu?" Sky berkata dengan nada tidak suka yang sama sekali tidak ia coba tutupi.
Maya mengedipkan matanya beberapa kali, terlihat terkejut dengan respons Sky yang tidak terlalu terlihat senang. "Emm ... aku mau mengembalikan bukunya."
"Buku?" Sky mengerutkan keningnya.
Maya mengangguk. Ia lantas menunjukkan buku yang dimaksudnya. Ada nama Arkana di sana.
Mata Sky terlihat berkedut. Sungguh, ia tidak terbiasa dengan 'Raya' yang setenang ini.
Menghela napas, Sky akhirnya menunjuk satu laki-laki yang tengah membaca di pojok kelas. Remaja dengan rambut rapi itu memiliki kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Wajahnya datar dan dingin, mengingatkan Maya pada Lexa.
Sky meneguk salivanya. Mengapa ia tiba-tiba merasa gugup?
"Ayo bersama. Aku tak ingin Kutu Buku itu mengatakan yang tidak-tidak," geruru Sky seraya menggandeng tangan Maya. Setengah menariknya menuju bangku Arkana.
Arkana, yang mendengar langkah kaki mendekatinya, seketika mendongakkan pandangan. Matanya langsung tertuju pada Maya yang terlihat berbeda.
Penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat hanya dengan seragam yang rapi. Biasanya, Raya tidak akan bersusah payah untuk memasukkan kemejanya ke dalam rok atau memakai dasi. Kali ini ... berbeda.
Bahkan make-up yang biasa digunakannya kini tidak terlihat di wajahnya. Nyaris membuat Arkana tidak mengenali 'Raya'.
"Nih!" Sky merebut buku dari tangan Maya, lalu meletakkan dengan kuat di meja Arkana.
"Sky, pelan-pelan," bisik Maya tidak enak.
Sky mendengkus. Padahal dulu Raya-lah yang paling vokal saat mengejek Arkana. Namun sekarang ... ah, sudahlah. Sky mengurut hidungnya, kemudian tanpa kata kembali menarik Maya ke bangku mereka.
"Jangan terlalu dekat dengan Arkana," nasihat Sky, mencoba membuat wajah bijak.
"Kenapa?" tanya Maya langsung. Matanya berkedip penuh rasa ingin tahu. Sky terbatuk. Apa-apaan? Bagaimana bisa temannya yang barbar itu berubah selucu ini?
"Karena ... nanti kau bisa tertular virus kutu bukunya!"
Maya mengangguk-angguk saja meski tidak percaya. Sky lantas menjentikkan jarinya di udara. Gadis itu merogoh tasnya, lalu memberikan suatu benda ke Maya.
"Ponselmu, Ray. Waktu itu kau tidak membawanya saat pergi dari rumah sakit. Tenang, aku sudah membawanya ke teknisi dan semuanya sudah kembali bekerja dengan baik," kata Sky dengan semangat.
"Teknisi? Untuk apa?" Maya menunduk, menatap ponsel dengan warna hitam itu dengan terkejut. Berarti, ponsel inilah yang dicari Garry? Sampai-sampai berujung ia tidak mendapatkan makan malam.
Sky sontak saja menepuk keningnya. "Astaga, aku lupa kau mengalami delusi sia-lan itu. Intinya, ponsel itu rusak karena kecelakaan yang sampai membuatmu harus di rawat di rumah sakit."
"Sky, jika tidak keberatan, boleh ceritakan kronologi kecelakaan itu?"
