0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 6 - Terungkap

""Raya, boleh aku masuk?" Suara itu diiringi dengan ketukan di pintu beberapa kali. Maya yang saat itu baru saja menyelesaikan makanannya, sontak berd"

"Raya, boleh aku masuk?" Suara itu diiringi dengan ketukan di pintu beberapa kali.

Maya yang saat itu baru saja menyelesaikan makanannya, sontak berdiri tegak. Suara tersebut terdengar familier. Lexa?

Dengan semangat, gadis itu menyahut, "Tentu, Kakak!"

Klik! 

Setelah kunci dibuka dari luar, pintu kemudian terbuka, menampakkan sosok Lexa dengan wajah datarnya. Ia membawa sesuatu di tangannya, yang langsung memantik rasa penasaran Maya.

"Kakak bawa apa?" tanya Maya tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Tanpa sadar, ia berlari kecil menghampiri Lexa dengan senyum lebarnya. Mungkin karena tidak ada Garry atau Axel, Maya tidak merasa gugup atau takut.

Remaja itu pada dasarnya memang cukup ceria. Hanya saja, di kehidupan sebelumnya ia tidak memiliki cukup kekuatan untuk bersikap selincah ini.

"Sup," jawab Lexa singkat. Ia mengulurkan semangkuk sup tersebut pada Maya, yang diterima gadis itu dengan senang hati.

Maya sebenarnya sudah kenyang. Sangat malah. Namun, sup ini adalah pemberian Lexa, penyelamat sekaligus satu-satunya orang yang tidak bersikap kasar dengannya di rumah ini.

"Terima kasih, Kak Lexa ...." ucap Maya malu-malu. Ini adalah pertama kalinya ia memanggil nama Lexa. Jadi, ia sedikit sungkan dan takut salah. 

Meski demikian, Maya merasa cukup optimis. Bukankah Axel memanggil kakak cantik ini Lexa sebelumnya?

"Kak Lexa katamu?" Lexa menunduk, menatap Maya yang gelagapan, mengira ia salah memanggil nama Lexa.

"Bagus. Aku suka panggilan itu." Kalimat Lexa selanjutnya membuat Maya tersenyum lega. 

Ia mengajak Lexa duduk di tepi ranjang. Sementara itu, mata Lexa menyipit ketika menemukan nampan dengan mangkuk yang sudah kosong di nakas. Ia juga dapat melihat dengan jelas kertas kecil yang tergeletak di sana.

Maya yang menyadari tatapan Lexa, senyumnya makin mengembang. "Ah iya, terima kasih juga untuk makanan ini."

Lexa hanya mengangguk, lalu duduk di samping Maya. 'Jadi dia mengira makanan itu dariku? Sangat menggemaskan'.

"Kak Lexa mau makan juga?" tawar Maya setelah menelan kerang yang ada di dalam sup.

Lexa menggeleng sekali. "Habiskan," katanya sambil mengawasi Maya yang makan dengan lahap.

Mendengar itu, Maya dengan patuh menghabiskan sup yang dibawakan Lexa. Ia sama sekali tidak menyadari pandangan Lexa yang menatapnya lamat-lamat. Tatapannya terlihat dalam— entah apa artinya.

"Kau suka?" tanya Lexa dengan nada sedatar wajahnya.

Maya mengangguk berkali-kali. "Aku suka. Kuahnya enak, terus kerangnya lem-"

Wajah Maya berubah pucat saat baru menyadari apa yang dimakannya. Dengan terbata-bata, Maya berkata, "K-kak, bukannya aku alergi?"

"Tidak. Kau tak memiliki riwayat alergi kerang atau makanan laut apa pun," Lexa menjawab dengan tenang. Ia seperti dengan sengaja menggantung ucapannya, yang mana membuat Maya membelalakkan mata. 

Jadi ..., Lexa sengaja membohonginya tentang alergi saat di meja makan? Namun, untuk apa?

"Katakan padaku, apa kau benar-benar kehilangan ingatan? Atau ... kau memang bukan Raya?" Lexa dengan sengaja meraih dagu Maya, memaksa gadis itu untuk menatapnya.

"Siapa kau, yang dengan lancang menggunakan raga anak ja-lang ini?" tanya Lexa dengan tajam.

Pertanyaan kasar dan penuh tekanan dari Lexa hampir membuat Maya menangis. Apalagi, cengkeraman di dagunya semakin menguat. Maya bingung, takut, dan resah. Semua perasaan tidak menyenangkan itu terasa mengaduk perutnya.

"A-aku tak bermaksud. Tolong maafkan aku ...." bisik Maya dengan suara bergemetar menahan air mata. Maya sungguh membenci dirinya yang selemah ini.

"Kau tidak bermaksud apa? Katakan lebih jelas!" perintah Lexa keras. 

Maya merasa keberaniannya makin terkikis. Ia mencoba mengalihkan pandangan, tetapi Lexa tidak membiarkan hal tersebut terjadi.

"A-aku tak bermaksud menggunakan raga Raya. Aku tiba-tiba berada di tubuhnya. T-tapi aku sungguh tidak tahu kenapa hal itu terjadi." Maya terisak, ketakutan. 

Remaja berusia tiga belas tahun itu bahkan hampir muntah karena perasaan campur aduk yang dirasakannya. Sepanjang hidupnya, Satu-satunya tekanan yang Maya rasakan adalah saat menyadari jika usianya tidak akan lebih lama daripada ibu dan adiknya.

Selain itu, hidup Maya benar-benar sempurna. Meski tanpa kehadiran sosok ayah dan penyakit yang menggerogoti tubuhnya dengan ganas, Maya tidak pernah merasa kekurangan apa pun.

Dan sekarang, berada di tubuh Raya yang memiliki kehidupan berbanding terbalik seratus delapan puluh derjat, Maya merasa terguncang. Amat mengguncang mentalnya.

"Aku sungguh tidak bermaksud. A-aku minta maaf. Raya, aku minta maaf ...." Maya menangis, terisak pelan.

Cengkeraman Lexa pada dagunya terlepas. Tatapannya sedikit melembut saat melihat Maya yang menangis sambil terus meminta maaf. Remaja itu merasa semua hal yang terjadi adalah salahnya. Bahkan mungkin saja, menghilangnya jiwa Raya juga merupakan kesalahannya.

"Benar, semua ini adalah salahmu. Jadi, kau harus menggantikan peran Raya dengan baik. Mengerti? Jadilah adik patuh seperti yang seharusnya," kata Lexa sambil menarik Maya ke dalam pelukannya. Ia mengusap-usap rambut panjangnya dengan kelembutan palsu.

Maya mengangguk berkali-kali. Air matanya membasahi pakaian Lexa. "M-mengerti, Kakak ...."

Di sisi lain, mata Lexa bertemu dengan sepasang mata lain yang berdiri di ambang pintu dengan wajah tak percaya. Tatapan matanya seolah mengatakan, 'See?'.

***

Maya masih sesenggukan, ketika seorang pelayan melepas perban di kepalanya. Ia kira perban tersebut hendak diganti, tetapi ternyata tidak.

"Anda sudah tidak perlu memakai perban lagi, Nona," kata pelayan itu dengan malas. 

Ia mengecek beberapa luka paska kecelakaan di tubuh Maya, lalu mengangguk puas saat melihat semuanya sudah hampir mengering. Setelah membereskan kotak obat, pelayan itu bergegas pergi. 

Anehnya, kali ini pintu hanya dibiarkan tertutup tanpa terkunci. Maya mengusap air matanya dengan kasar. Ia sangat hafal dengan suara kunci yang diputar. 

Mengapa kali ini berbeda? Apa Lexa ingin mengujinya lagi?

Maya mengulum bibirnya. Ia berjalan ragu-ragu, lalu mengintip ke lubang pintu. Biasanya ada penjaga yang berjaga di sana. Kali ini ... tidak ada.

Maya ingin keluar, mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Sayangnya, ia tidak memiliki cukup keberanian. 

Jadi, yang Maya lakukan adalah kembali duduk ke tepi ranjang. Pikirannya lagi-lagi melanglang jauh ke keluarganya. Bagaimana kabar ibu dan adiknya hari ini? Apakah adiknya masih tidak suka memakan sayurnya?

"Sudah selesai?" tanya Lexa yang baru saja membuka pintu. Kali ini ia tidak sendirian. Ada adik kembarnya di sampingnya— Axel.

Sama seperti biasanya, Axel menatap Maya dengan tajam. Maya langsung mengalihkan pandangan. Ia mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Lexa.

Lexa terlihat puas. Gadis itu kemudian berjalan menghampiri Maya dengan langkah panjang. 

"Bisa kita lanjutkan perkenalan kita?" Lexa saat itu ingin menginterogasi 'adik bungsunya' lebih dalam, tetapi pelayan tiba-tiba datang untuk memeriksa luka-luka Maya.

"Tapi ...." Maya menatap takut-takut ke arah Axel, yang dibalas pemuda itu dengan pelototan tajam.

"Axel berhak tahu. Dia juga kakakmu," balas Lexa sambil melirik Axel singkat, memberi peringatan agar remaja itu tidak memicu pertengkaran.

Axel berdecak, tetapi kemudian berpura-pura menatap ke jendela agar tidak membuat adik ja-langnya itu takut. Alisnya sontak terangkat tinggi ketika melihat gembok yang mengunci jendela.

"So, what should we call you?" tanya Lexa dengan mata yang menatap tepat ke mata Maya.

"M-Maya," jawab Maya lirih.

"Maya, hmm ... such a pretty name." Lexa mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu kembali bertanya, "Berapa usiamu?"

Maya menggigit pipi bagian dalamnya, sebelum kemudian menjawab, "Tiga belas tahun."

"Oh? Kupikir kau seumuran dengan anak ja-lang itu. Ternyata kau benar-benar hanya bocah ingusan, huh? Pantas kau begitu pengecut," timpal Axel sambil berdecak keras. Tampaknya agak kesal dengan 'Raya' yang berubah cengeng. Meski tidak bisa ia sangkal, Raya yang sekarang terlihat menggemaskan alih-alih menjengkelkan.

"Axel," tegur Lexa sembari menyorot tajam adik kembarnya.

"Ya, ya, terserah kau saja."

Lexa lantas kembali mengalihkan pandangannya pada Maya. "Kalau begitu, kami akan memanggilmu Maya."

Axel mengangguk, terlihat setuju. "Aku setuju. Lagi pula, sepertinya anak ja-lang itu sudah mati."
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
Posting Komentar
Search
Menu
Share
Additional JS