0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 4 - Ingatan Palsu

"Maya sedang membongkar kamar Raya, ketika ia menemukan laci yang tidak dapat terbuka. Alisnya sontak terangkat. "

Maya sedang membongkar kamar Raya, ketika ia menemukan laci yang tidak dapat terbuka. Alisnya sontak terangkat. Dari sekian banyak laci, hanya laci inilah yang terkunci. Pikir Maya, sesuatu yang penting bagi Raya mungkin tersimpan di sana.

Maya sungguh tidak ingin bermaksud kurang ajar dengan menyentuh apa yang bukan miliknya. Namun demi misinya untuk bertemu kembali dengan ibu dan adiknya, Maya tidak memiliki pilihan lain. 

Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi— dan hal tersebut di awali dengan mendapatkan petunjuk tentang siapa Raya sebenarnya dan mengapa jiwanya terjebak di tubuh gadis berusia lima belas tahun tersebut. Agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain, Maya juga harus berpura-pura menjadi Raya. Karena ia tidak tahu siapa yang bisa dipercayainya di rumah ini.

Gadis itu kemudian melanjutkan gerakan tangannya untuk mencari kunci. Namun hingga setengah jam berlalu, Maya tidak menemukan apa yang dicarinya. Sebenarnya di mana Raya menyimpan kunci laci tersebut? Maya merasa sudah menelusuri setiap sudut kamar Raya, tetapi tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. 

Bahkan rasanya ... Raya tidak benar-benar tinggal di kamar ini. Sekadar ponsel pun tidak dapat Maya temukan.

Maya mengusap wajahnya kasar, bingung harus melakukan apa lagi. Saat itulah tanpa sengaja, tatapannya mengarah pada satu buku.

Buku tersebut memiliki sampul yang berbeda dengan buku-buku lainnya. Semangat Maya kembali membara. Pikirnya, buku itu mungkin saja buku harian Raya.

Namun ternyata, buku tersebut hanyalah buku pelajaran biasa. Maya menghela napas, membolak-balikkan lembar demi lembar tanpa semangat. Hanya saja, Maya tidak menyadari jika nama pada buku itu bukanlah Raya Adiwangsa, melainkan nama yang lain.

"Nona, tuan Adiwangsa meminta Anda turun untuk makan siang," ucap seorang pelayan yang tiba-tiba membuka pintu.

Maya terlonjak kaget sebentar, sebelum kemudian mengangguk. Ia benar-benar merasa tidak memiliki privasi. Orang-orang bisa masuk ke kamar ini tanpa izin, tetapi ia sama sekali tidak bisa keluar.

"Tuan Adiwangsa itu ..., ayahnya Raya?" tanya Maya sambil berjalan mengikuti pelayan seperti anak kucing.

"Ayah Anda, Nona Raya." Pelayan wanita itu mengoreksi Maya dengan nada penuh penekanan. 

Maya mengangguk saja, tidak ingin berdebat dan menghabiskan suaranya. Ia dengan ringan mengikuti langkah si pelayan. Matanya membola saat menemukan berbagai barang-barang mewah yang dulunya hanya bisa dilihatnya di televisi.

'Ayah Raya benar-benar kaya,' gumam Maya dalam hati.

Setibanya di meja makan, Garry ternyata sudah ada di sana. Tidak hanya Garry, Axel serta Lexa juga sudah duduk dengan tenang di kursi. Maya tidak berani menatap Garry atau Axel. Ia hanya memandang ke arah Lexa yang dianggapnya sebagai penyelamat dan mengulas senyum kecil.

Lexa sedikit mengernyit, tetapi memutuskan tidak mengatakan apa pun saat Maya memilih duduk di sampingnya. Namun sepertinya, Axel memiliki respons yang berbeda.

"Hanya karena Lexa membelamu sekali, kau langsung menempelinya seperti lintah?" Axel mencibir. Tatapan tajamnya membuat Maya menciut.

"B-bukan seperti itu," ucap Maya yang lebih menyerupai bisikan. Ia menunduk, menatap piringnya yang masih kosong.

"Lalu apa?!" bentak Axel keras yang makin membuat Maya ketakutan. Bagaimana Raya bisa hidup di tengah keluarga yang seperti ini? Karena jujur saja, Maya tidak sanggup.

"Axel!" Garry mengarahkan laser tajamnya pada Axel. 

Remaja laki-laki itu melotot tidak terima. "Sekarang Ayah membela anak jal-ang ini juga?!"

Garry menghela napas panjang. Menghadapi anaknya yang temperamen memang tidak pernah mudah. Apalagi sebelumnya, Raya akan ikut beradu mulut dengan Axel. Beruntungnya, 'anak itu' terlihat lebih tenang sekarang.

Namun, Garry masih belum bisa memastikan apakah Raya benar-benar kehilangan ingatannya atau hanya sandiwara bodohnya saja. Apa pun itu, akan terungkap di waktu yang tepat. 

"Sia-lan!" Axel berdiri dengan kasar, hingga membuat kursinya terbalik ke lantai. Remaja itu kemudian pergi entah ke mana.

Akhirnya di meja itu kini hanya tinggal Garry, Lexa, dan Maya. Maya menggigit pipi bagian dalamnya, bingung.

"Boleh ... aku minta ini?" tanya Maya gugup. Ia menunjuk pada semangkuk sup sayur, tidak berani langsung mengambilnya karena merasa tidak enak hati. Bagaimanapun juga, ia masihlah 'orang asing' di keluarga ini.

Garry mengangkat satu alisnya, menatap Maya dengan skeptis. "Oh? Sekarang kau ingin bersandiwara menyukai sayur?"

Maya langsung gelagapan. Ia menarik kembali tangannya ke pangkuannya dan berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Raya tidak suka sayur, ya?"

Lexa yang mendengar bisikan itu seketika menoleh pada Maya. Remaja perempuan itu hanya diam, memandang Maya yang tidak menyadari tatapannya karena menunduk.

"K-kalau begitu aku minta yang ini saja." Tangan Maya terulur, hendak mengambil sesendok kerang yang dimasak asam pedas manis. Namun sebelum itu terjadi, Lexa menahan tangannya.

"Kau alergi."

Maya tertegun, lagi-lagi menarik tangannya kembali ke pangkuan. "Oh benar, aku lupa."

Benar-benar kacau. Maya tidak tahu bagaimana harus bersikap seperti Raya dan mungkin saja Garry dan Lexa sudah mencurigainya sekarang. Berbohong juga bukan bakatnya. Terbukti dari alis Garry yang sudah menukik tajam.

'Padahal di film-film akting terlihat mudah, tapi ternyata begitu sulit.' Maya mengeluh dalam hati, merutuki dirinya sendiri.

Setelah makan siang canggung itu, Maya kembali dikurung di kamar. Ia bahkan tidak sempat menanyakan apa pun karena pintu sudah terkunci. 

Di sisi lain, Garry menghubungi asistennya untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi Raya setelah siuman. Saat itu ia terlalu marah dengan kekacauan yang Raya buat dan benar-benar tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun. 

"Menurut dokter yang menangani Nona Raya, beliau diduga mengalami delusi yang dipicu oleh trauma psikologis. Alih-alih kehilangan ingatan, Nona Raya justru 'menciptakan' ingatan palsu atau false memory yang membuatnya sulit membedakan kenyataan dan khayalan," jelas asistennya melalui sambungan telepon. 

Suaranya masih terlihat mengantuk. Bagaimanapun juga, ini adalah hari libur. Tidak bisakah ia istirahat sebentar?

"Apa ada kemungkinan anak itu menyuap dokter?" Garry tidak bisa tidak merasa curiga. Raya di matanya adalah sosok remaja berkepribadian buruk. Tiada hari tanpa membuat masalah.

"Sepertinya tidak, Tuan. Tidak ada laporan uang yang keluar dari kartu Nona Raya satu minggu ini," jawab si asisten. 

Garry terdiam sejenak, sebelum kemudian berkata, "Apa ingatannya bisa pulih?"

Ada jeda selama beberapa detik di seberang telepon. "Kemungkinan itu selalu ada, Tuan. Apa Anda ingin mencari psi–"

"Tidak perlu," potong Garry tegas.

"Tapi Tuan, ingatan Nona Raya mungkin akan semakin terdistorsi jika tidak segera ditangani. Saya memiliki beberapa rekomendasi jika Anda ma–"

"Aku bilang tidak, Rendi!"

Detik berikutnya, Garry mematikan panggilan telepon secara sepihak. Daripada mengembalikan anaknya yang tidak bisa diatur, bukankah begini lebih baik?

Raya terlihat lebih tenang, patuh, dan tidak macam-macam. Namun pertanyaannya, benarkah delusi juga bisa mengubah kepribadian seseorang? 

Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
Posting Komentar
Search
Menu
Share
Additional JS