[BYT] Bab 2 - Pulang ke 'Rumah'
""Berhenti berpura-pura. Sudah tidak ada orang lain di sini." Garry melipat kakinya. Pandangannya dengan tegas menatap ke depan, tepat ke jalan raya. "
"Berhenti berpura-pura. Sudah tidak ada orang lain di sini." Garry melipat kakinya. Pandangannya dengan tegas menatap ke depan, tepat ke jalan raya. Dia, Maya, serta sekretarisnya kini tengah berada di dalam mobil untuk perjalanan menuju rumah.
Maya tidak menjawab. Gadis itu hanya menatap jari-jemarinya yang saling bertaut karena takut. Di rumah sakit tadi, dokter serta dua remaja yang tidak dikenalnya itu tidak berhasil mencegahnya untuk dibawa pulang. Meskipun sebenarnya, Maya tidak tahu apakah ini bisa disebut 'pulang'.
Dia tidak mengenal pria menyeramkan di sampingnya atau pria lain yang duduk di kursi kemudi. Namun yang lebih penting dari itu, Maya tidak dapat menemukan ibunya. Saat dia dipaksa pulang, Maya sudah mencoba untuk menemui ibu dan adiknya. Akan tetapi, ia justru mendapatkan tatapan menghakimi seolah-olah Maya telah melakukan kesalahan.
"Tetaplah diam seperti itu dan lihat apa yang akan terjadi." Ancaman tersebut membuat Maya menundukkan kepalanya lebih dalam.
"A-aku ingin menemui ibu dan adik ...." bisik Maya dengan kepala tertunduk.
"Berhenti berakting. Ibumu sudah ma-ti dan adikmu tidak pernah ada."
Dengan dua kalimat tajam itu, Maya sontak mendongakkan kepalanya. Matanya yang bergetar bertemu pandang dengan sepasang iris biru yang menatapnya tajam.
"A-apa maksud Om?" Maya bertanya dengan suara bergetar. Dia sungguh tidak mengerti. Kenapa semua orang mengatakan jika ibunya sudah meninggal? Bahkan adik laki-lakinya disebut tidak pernah ada.
Ekspresi Garry sedikit berubah, tetapi dengan cepat kembali berubah datar. "Cukup, Raya. Aku lelah dengan semua drama yang kau buat."
"Aku tidak berpura-pura! Kenapa Om selalu menuduhku?!" Maya berseru frustrasi. Sejak bertemu dengan Garry, pria itu selalu mengatakan padanya untuk berhenti berakting, berpura-pura, dan berhenti membuat drama. Maya lelah dituduh melakukan sesuatu yang tidak ia lakukan.
"Jangan naikkan suaramu padaku!" bentak Garry keras.
Nyali Maya seketika menciut. Gadis dengan kepala yang masih diperban itu menggeser tubuhnya hingga menempel pada pintu mobil. Kepalanya kembali tertunduk, kali ini bahkan lebih dalam. Seumur hidupnya, Maya tidak pernah mendapatkan bentakan. Ibunya dan orang-orang di sekitarnya hampir tidak pernah mengeraskan suara padanya.
"Tuan Garry, kita sudah sampai." Mobil berhenti di sebuah pekarangan rumah mewah dengan tiga lantai. Matahari sudah hampir tenggelam, membuat semburat kegelapan mulai mengintip dari celah dan sudut-sudut tertentu.
"Turun!" Kembali, bentakan itu terdengar. Maya menelan ludahnya dengan susah payah. Kepalanya menggeleng dengan lemah. Dia tidak mau. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi saat dia masuk ke dalam?
"Keras kepala!" Sebuah tangan tiba-tiba dengan kuat mencengkeram lengannya. Maya terkesiap kaget. Remaja itu tidak sempat bereaksi saat dia diseret keluar dari mobil.
"T-tidak, aku tidak mau!" Maya berusaha melepaskan cengkeraman tangan di lengannya dengan susah payah. Ia dengan panik menoleh ke pria lain yang baru keluar dari mobil untuk meminta bantuan. Saat itulah secara tidak sengaja, tatapannya tertuju pada sosok asing di pantulan kaca mobil.
Maya berkedip sekali, dan sosok itu mengikuti. Tidak mungkin. Siapa ... dia?
"Cepat! Kau benar-benar membuang waktuku yang berharga!" Tanpa sempat untuk melihat lebih teliti, tubuhnya ditarik kuat untuk masuk ke dalam.
Maya tidak memberontak kali ini. Dia terlalu syok saat melihat pantulan dari dirinya sendiri. Sejak kapan rambutnya kembali? Dan wajah itu ... jelas bukan wajahnya.
Pintu utama terbuka lebar. Dua penjaga bertubuh tegap di kedua sisi pintu membungkukkan badannya. Begitu Garry masuk dengan Maya yang mendadak tenang, puluhan pelayan berjejer dan membungkukkan badan. Maya terlalu larut dengan pikirannya hingga tidak menyadari jika dia sekarang berada di sebuah ruangan seorang diri.
Maya menggigit pipi bagian dalamnya, panik ketika menyadari dia berada di ruangan tidak dikenal. Matanya dengan cepat berputar. Begitu menemukan apa yang dicarinya, Maya dengan tergesa-gesa memutar kenop pintu. Namun, pintu itu tidak kunjung terbuka.
Dia kembali mencoba memutar kenop pintu. Akan tetapi, yang terdengar justru suara asing dari seseorang yang lagi-lagi tidak Maya ketahui. "Anda tidak bisa keluar sekarang, Nona. Makan malam akan diantarkan ke kamar Anda satu jam lagi."
"Tapi kenapa ...?" Pundak Maya melemas saat tidak ada jawaban yang terdengar.
Maya mundur, lalu kembali memutar pandangannya. Matanya menemukan sebuah cermin di samping tempat tidur. Haruskah dia ... mencobanya sekali lagi?
Dengan langkah gugup, gadis itu pun berjalan menuju cermin. Matanya turun menatap lantai, sebelum kemudian mendongak menatap sosok asing di pantulan cermin. Tidak ada lagi remaja berusia tiga belas tahun yang kurus kering.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Maya menggerakkan jarinya, menyentuh wajah yang tidak dikenalnya. Ini jelas bukan wajahnya. Lalu ... siapa?
'Raya? Apa ini tubuh Raya?' Maya menyentuh permukaan cermin. Semua orang memanggilnya Raya sebelumnya. Namun pertanyaannya, bagaimana bisa ia menjadi Raya? Lalu bagaimana dengan tubuhnya yang asli?
'Apa aku ... ma-ti?'
Tangan Maya jatuh dengan lemas. Berbagai pertanyaan menyerbu kepalanya. Tentang bagaimana reaksi ibu dan adiknya, serta kekhawatiran lainnya. Karena jika dia memang kehilangan nyawa, Maya sungguh tidak bisa membayangkan kesedihan yang menimpa sang ibu dan adik.
Setetes air mata jatuh ke pipinya. Maya mengusapnya dengan cepat. Dia tidak boleh bersedih sekarang. Maya harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan mungkin jika beruntung, dia akan bertemu dengan keluarga kecilnya lagi.
***
"Selamat malam, Nona."
Maya mengerjapkan matanya, menatap seorang wanita berpakaian pelayan yang membuka pintu. Wajahnya terlihat kaku dan dingin. Satu tangannya dengan ahli membawa nampan dengan beberapa makanan di atasnya, sementara tangan lainnya menutup pintu dengan cepat. Maya tidak sempat melihat apa pun yang berada di balik pintu.
"Ini makan malam Anda, Nona." Pelayan itu mengangguk sekali pada Maya, lalu meletakkan nampan di atas nakas.
Sebelum pelayan itu pergi, Maya lebih dulu menahan tangannya. "Boleh aku menanyakan beberapa hal?"
Dia terlihat ragu dan ingin pergi, tetapi batal saat melihat wajah memohon nona mudanya. "Tentu, Nona."
"Itu ... siapa nama lengkapku?" tanya Maya gugup.
Pelayan itu sedikit mengerutkan keningnya. Ia mendengar rumor tentang nona bungsu yang kehilangan ingatan setelah kecelakaan. Sepertinya, hal tersebut benar adanya.
"Nama lengkap Anda adalah Raya Adiwangsa, Nona," jawabnya tegas.
Maya mengeja nama itu dalam hati, lalu kembali bertanya, "Berapa umurku? Lalu ... bagaimana aku bisa berada di rumah sakit?"
"Apa ini? Kau ternyata hilang ingatan sungguhan?" Tiba-tiba, terdengar suara dari pintu yang telah terbuka entah sejak kapan. Pelayan wanita di samping Maya langsung membungkukkan badannya.
Alis Maya terangkat tipis, menyadari perbedaan mencolok dari sikap pelayan itu pada dirinya dan remaja laki-laki yang berdiri di ambang pintu.
"Apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?!" Remaja laki-laki dengan rambut hitam itu tiba-tiba menunjuk-nunjuk Maya dengan marah. Atau haruskah Maya bilang ... Raya?
