[BYT] Bab 12 - Gift
"Maya mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa. Karena sibuk merenungi nasibnya kemarin malam, pagi ini Maya bangun terlambat. "
Maya mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa. Karena sibuk merenungi nasibnya kemarin malam, pagi ini Maya bangun terlambat. Beruntungnya, sekarang adalah hari libur. Sambil mengikat rambutnya asal, Maya berjalan dengan langkah lebar menyusuri koridor.
Gadis itu berharap dirinya tidak menjadi yang terakhir hadir di meja makan. Ia tidak ingin menerima tatapan menghakimi Garry karena terlambat mengikuti rutinitas pagi.
"Cepatlah, Maya," gumam Maya pada dirinya sendiri. Namun secara tidak sengaja, jarinya tersangkut di rambutnya yang memang belum disisir.
Distraksi tersebut membuat ritme langkah Maya berubah. Naasnya, saat itu ia tengah berjalan menuruni tangga dan tanpa sengaja, kakinya menginjak anak tangga yang salah.
Maya membelalak. Tangannya hendak menjangkau pegangan tangga, tetapi tidak ada waktu yang tersisa. Maya sudah menutup matanya, mempersiapkan diri untuk jatuh berguling-guling dengan kemungkinan bangun di alam baka.
Namun sepertinya, nasib baik sedang berpihak padanya. Tepat sebelum tubuhnya terjatuh, satu tangan kokoh menahan pinggangnya. Maya tersentak. Matanya seketika terbuka.
Gadis itu menoleh ke belakang. Napasnya langsung tertahan begitu menemukan Garry-lah yang membantunya. Pria itu menunduk, menatap Maya dengan tatapan tajamnya yang dingin seperti biasa.
"Apa kau ingin terbaring di ranjang rumah sakit untuk kedua kalinya?" sindir Garry yang membuat Maya gelagapan mencari alasan. Sayangnya, Maya tidak bisa menemukan pembenaran yang tepat karena ia tahu ini murni kesalahannya.
"Tck, ceroboh!" Masih dengan tangan yang sama, Garry mengangkat Maya seperti menenteng seekor kucing. Tangannya melingkar di perut Maya, kemudian berjalan menuruni tangga dengan langkah tegap.
Maya terpaku. Gadis itu bahkan hanya bisa terdiam kaku karena syok dan takut dijatuhkan. "Om, aku bisa berjalan sendi–"
"Diam. Aku bukan pamanmu." Garry memotong kalimat Maya dengan cepat. Bahkan mungkin terlalu cepat hingga membuat Maya mengira pria ini tersinggung karena ia salah memanggilnya. Maya menepis pemikiran tersebut jauh-jauh. Rasanya hal itu sangat tidak mungkin terjadi.
"Maaf." Maya merutuki dirinya sendiri. Sudah pasti ia telah membuat Garry semakin membencinya.
Begitu sampai di meja makan, Axel yang sudah ada di sana seketika melotot. Remaja itu berdiri dengan cepat, lalu menghampiri sang ayah dan adik.
"Ayah, turunkan Raya! Apa-apaan dengan cara Ayah menggendongnya?!" Axel mencoba mengambil Maya dari tangan Garry, tetapi pria itu lebih dulu mengelak dan mendudukkan Maya di salah satu kursi. Lebih tepatnya, kursi yang berada di samping miliknya.
"Jangan terlalu berlebihan," ucap Garry sembari menarik kursi dan duduk di sisi kanan Maya.
Maya hanya bisa meringis pelan. Selama ini, ia selalu menghindari untuk duduk di dekat Garry. Namun sepertinya, Garry sengaja membuatnya mati kutu dengan mendudukkannya di sini.
Axel berdecak tidak terima. Ia menarik kursi lain di sisi kiri Maya, lalu duduk di sana. "Ray, kau tak apa? Apa ayah melukaimu?"
"Kau pikir aku ini apa? Monster? Dan berhentilah memanggilnya Raya. Bukankah kalian sangat bersikeras jika gadis ini adalah Maya?"
"Uhuk!" Terbatuk, Maya menatap tak percaya pada Garry dan Axel. Ternyata dugaannya benar. Axel dan Lexa sudah menceritakan rahasianya seperti berita yang harus anggota keluarga ini dengar. Dan apa-apaan dengan perkataan Garry yang sangat blak-blakkan itu?
Ah, Maya lupa. Keluarga ini ... tidak ada satu pun dari mereka yang merasa sedih karena menghilangnya 'Raya'.
"Ayah-lah yang lebih dulu tidak memercayai kami." Axel memutar bola matanya. Ia menarik kursi Maya agar lebih mendekat padanya.
"Jangan dekat-dekat dengan Ayah," kata Axel dengan senyum kemenangan yang tersungging di bibirnya.
Garry hanya menghela napas. "Kekanakan."
"Wah wah, apa yang kalian obrolkan? Terlihat seru," timpal Devon sambil merapikan kerah kemejanya yang agak kusut. Pria itu menarik seringai kecil yang membuat Maya langsung mengalihkan pandang ke arah lain. Padahal sebelumnya Devon tidak pernah memperlihatkan dirinya. Namun, kenapa pria ini sekarang muncul terus-menerus?
"Oh? The other monster is coming." Axel melingkarkan tangannya ke bahu Maya, seolah memperlihatkan jika dialah yang paling dekat dengan gadis itu.
"Seolah-olah kau bukan monster saja." Devon menarik kursi tepat di depan Maya. Iris birunya benar-benar sangat mengganggu. Apalagi, pria itu menatap tepat ke arah Maya.
Ketika ketiga orang berjenis kelamin laki-laki itu sibuk berdebat, Maya justru mengedarkan pandangannya untuk mencari Lexa. Di mana gadis itu? Meski Lexa kadan menyeramkan, tidak bisa dipungkiri jika dialah yang paling lembut.
Seolah-olah bisa membaca pikiran Maya, Lexa terlihat muncul dari pintu utama. Ada kotak kecil yang dibungkus kertas kado di tangannya.
"Raya, ini hadiah untukmu. Dari kami," kata Lexa dengan wajah datarnya seperti biasa. Ia menunjuk Axel dengan kepalanya, sebelum kemudian memberikan kotak tersebut pada Maya.
"Maya," koreksi Garry yang membuat Lexa mengangkat satu alisnya. Meski demikian, ia tidak mengatakan apa pun dan kembali memusagkan perhatiannya pada Maya untuk melihat reaksi gadis itu.
Mata Maya membulat lucu. Ia menerima hadiah itu dengan ragu. "Untukku?" tanyanya memastikan.
Lexa dan Axel memangguk seiras. Tanpa sadar, seulas senyum terbit di bibir Maya. Ia menatap keduanya penuh rasa terima kasih bahkan sebelum mengetahui apa isi kotak tersebut.
"Terima kasih banyak, Kak Lexa, Kak Axel," ucap Maya malu-malu. Ada rona tipis di pipinya yang membuat Axel mencubitnya gemas. Sementara itu, Lexa hanya mengangguk.
"Open it, Maya." Perintah itu membuat Maya mengangguk penuh semangat.
Dengan antusias, Maya membuka kotak tersebut. Bibirnya tampak terbuka lebar begitu melihat sebuah kalung dengan desain yang mewah, tetapi tetap terlihat sederhana. Sempurna untuk perhiasan sehari-hari. Ada permata kecil di tengah. Warnanya yang seputih susu seakan-akan menghipnotis Maya.
"Kakak ... ini cantik sekali." Maya mengerjap beberapa kali. Jelas masih terlihat tidak percaya.
"Norak," cibir Axel sambil mengusap-usap puncak kepala Maya dengan sayang.
Maya tidak mengindahkan kata pada Axel. Sudah cukup terbiasa dengan mulut Axel yang memang lumayan kurang ajar.
"Hadiah tanpa pamrih? How ... interesting," komentar Devon dengan seringai yang tercetak di bibirnya.
Lexa langsung memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak. "Kakak tidak perlu ikut campur."
Devon terkekeh kecil. Pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi dengan santai, sama sekali tidak terlihat terintimidasi oleh adiknya. "Kenapa? Takut Maya tak akan menerima hadiah itu jika ta–"
"Shut up! Kakak tidak berhak mengatur kami!" sentak Axel dengan marah.
"Axel, watch your tone," tegur Garry sambil memberikan isyarat pada para pelayan agar mulai menghidangkan makanan.
"Dan Devon, berhenti menggoda adik-adikmu." Garry menatap Devon dengan alis yang menukik tajam. Devon kembali terkekeh, tetapi kali ini tidak membantah.
Alih-alih, pandangannya kini tertuju pada Maya yang sedang menahan napasnya saat Lexa memakaikan kalung itu ke lehernya. Maya menunduk, senyumnya kembali muncul.
"Terima kasih, Kak," ucap Maya lagi. Sebagaimana remaja lainnya, Maya menyukai hadiah. Gadis itu bahkan sampai melupakan jika ia tidak sedang berada di keluarganya sendiri.
"Hm, terlihat cocok untukmu." Lexa menepuk lembut puncak kepala Maya. Gadis yang tengah mengagumi hadiahnya itu sama sekali tidak menyadari Lexa dan Axel yang saling berpandangan penuh arti.
***
Sebenarnya Ao pengin buat bab ini lebih panjang, tapi ternyata ada hal lain yang harus digarap sekarang ʕノ)ᴥ(ヾʔ

it's oke
BalasHapusreally looking forward to the next chapter
BalasHapusDitunggu, yaww \Ê• •á´¥•Ê”/
HapusYEAYY UPDATE 😻
BalasHapusit's oke kaa, tetap semangat yaaa dan jangan lupa jaga kesehatan kaa
BalasHapusKak, sweet banget, sihhh Ê•≧á´¥≦Ê”
Hapus