[BYT] Bab 1 - Maya dan Raya
""Maya pasti sembuh. Ibu yakin." Maya menatap sayu sang ibu dan hanya mengangguk lemah. Ia lelah. Kalimat tersebut sudah tidak dapat menenangkan hati"
"Maya pasti sembuh. Ibu yakin."
Maya menatap sayu sang ibu dan hanya mengangguk lemah. Ia lelah. Kalimat tersebut sudah tidak dapat menenangkan hatinya lagi. Maya merasa waktunya untuk pergi sudah dekat.
"Kakak harus sembuh! Nanti siapa yang bermain dengan adik lagi kalau Kakak tidak ada?" Adik laki-lakinya yang baru berusia sepuluh tahun mengguncang bahunya lembut. Cemberut bermain di bibirnya, tidak setuju dengan sikap Maya yang terlihat pesimis.
Maya tersenyum tipis. Tangannya terangkat, ingin mengusap rambut sang adik. Namun, tangannya mengkhianatinya. Maya terlalu lemah bahkan untuk mengangkat tangannya.
Tarikan napasnya mendadak terasa sulit. Matanya mulai memburam dan perlahan menggelap. Sayup-sayup, ia mendengar jerit tangis adiknya dan teriakan histeris sang ibu yang terus memanggil dokter.
Mereka kenapa? Maya ... hanya istirahat sebentar, kok.
"Tangan Raya gerak-gerak, Dit! Cepat panggil dokter!"
"Hah? Masa? Kau yakin tidak salah lihat?"
"Si-al, bisa-bisanya kau tidak percaya! Sana, panggil dokter sekarang!"
"Iya, iya! Cerewet!"
Maya membuka matanya perlahan. Rasanya aneh. Tubuhnya tidak seberat biasanya dan hanya tersisa rasa sakit di beberapa bagian saja. Apakah ... dia berhasil sembuh?
Mata cokelatnya kemudian bergulir ke samping, tepat pada seorang remaja perempuan yang rambutnya dicat pirang dan biru muda. Siapa dia? Maya berekspektasi akan menemukan ibu dan adiknya. Di mana mereka?
"Raya, ini sungguh kau sudah sadar? Kau tahu tidak betapa syoknya aku saat tahu kau hampir ma-ti tertabrak mobil?! Kita belum membuat janji untuk bunuh diri! Jadi kau tidak boleh ma-ti lebih dulu!" Gadis dengan warna rambut yang menyilaukan itu mengoceh panjang lebar tentang sesuatu yang Maya tidak mengerti. Lebih dari itu, di mana ibu serta adiknya?
Ah, lalu siapa Raya yang dia maksud? Apa mereka salah orang karena namanya dengan Raya agak mirip?
"Kenapa kau diam saja? Kau ini sungguh sudah sadar atau bel–" Kalimatnya terpotong saat sebuah tangan menyumpal mulutnya dari belakang dengan rapat.
"Diam! Raya baru sadar!" Tiba-tiba saja, ada lebih banyak orang yang datang. Seorang remaja laki-laki yang sepertinya seumuran dengan gadis berambut menyilaukan, dan juga seorang dokter yang sudah cukup tua.
Maya menatap interaksi tersebut dengan kening berkerut tipis. Sebenarnya siapa mereka?
"Saya periksa dulu, ya." Dokter itu memulai pemeriksaannya. Maya hanya diam, bingung ingin memberikan respons seperti apa.
Selang beberapa menit, Maya akhirnya memutuskan membuka suaranya. "Ibu dan adikku di mana?"
Dua remaja berbeda kelamin di sampingnya memberikan wajah syok. Alis Maya seketika terangkat, bingung.
"Kau masih mabuk?" tanya mereka kompak.
"Mabuk?" Maya mengerutkan keningnya, semakin bingung.
Kedua remaja tersebut lantas saling bertukar pandangan sama lain. Beberapa saat kemudian, gadis berambut menyilaukan kembali berkata, "Sejak kapan kau memiliki adik? Yang kau punya adalah tiga kakak menyebalkan!"
"Lalu kau juga sudah tidak memiliki ibu, omong-omong," lanjut si remaja laki-laki.
Mata Maya membulat seketika. "Maksud kalian bagaimana? Ibuku belum meninggal, dan aku juga punya adik."
"Dit, Dit, Raya jadi aneh sekarang. Sejak kapan teman kita yang barbar jadi kalem begini?!" Remaja perempuan itu menggoyangkan bahu Radit dengan kuat.
Radit memutar bola matanya dengan dramatis, pasrah saja saat tubuhnya dibuat bergoyang tidak karuan. "Bisa-bisanya kau malah fokus ke sana. Siti, Siti ...."
"Yang kau panggil Siti siapa, Radit Sia-lan?! Namaku Sky! S-K-Y!" Tangan Sky dengan ringan menampol pipi Radit hingga remaja laki-laki itu mengaduh sakit.
"Anak-anak, teman kalian baru saja siuman. Tolong jangan membuat keributan." Setelah sekian lama, dokter akhirnya bertindak untuk menghentikan keributan yang Sky dan Radit buat—terlebih Sky. Karena saat gadis itu berbicara, suara lain tidak dapat terdengar.
Radit dan Sky dengan cepat menutup mulut mereka. Dokter yang melihat itu lantas mengangguk puas, lalu mengalihkan atensi kembali pada Maya.
"Nama kamu siapa, Nak?" tanya dokter dengan tatapan lurus.
"Maya, Dok," jawab Maya terlampau cepat. Bahkan tanpa berpikir.
Dua remaja yang berdiri di belakang dokter seketika kembali memelototkan matanya. Jelas, mereka syok. Saat keduanya ingin membuka suara, dokter menoleh ke belakang, seolah memberikan peringatan. Mereka yang ditatap sedemikian rupa pun akhirnya menutup mulut kembali.
"Umur kamu berapa? Lalu boleh saya tahu siapa nama ibu dan adik kamu? Mungkin saya tahu di mana mereka." Dokter itu memberikan senyum tipis, tidak ingin membuat Maya ketakutan.
"Umurku tiga belas tahun. Nama ibuku Sarah, lalu nama adikku Rafa," jawab Maya dengan canggung. Kenapa ia merasa jika sedang diinterogasi?
"Dok, Dok! Apa yang terjadi dengan teman saya?! Memangnya umur bisa turun?!" Sky menggoyangkan pundak dokter tua itu dengan kuat. Radit yang melihatnya dengan cepat menarik Sky mundur.
"Jangan mengganggu dokter!" Radit menonyor kepala Sky tanpa beban.
Sky ingin balik menimpali, tetapi batal ketika melihat wajah serius dokter. Hal ini membuatnya beralih menyenggol pelan bahu Radit. Gadis itu kemudian berbisik, "Apa mungkin Raya amnesia?"
"Daripada amnesia, saya pikir pasien mengalami delu–"
"Apa dia sudah sadar?" Dari pintu yang terbuka, sebuah suara lain menginterupsi, memotong penjelasan dokter.
Seorang pria paruh baya berada di ambang pintu, menatap datar ke arah dokter. Wajahnya kaku dan sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Matanya kemudian bergulir ke arah Maya yang menatapnya bingung.
"Kalau begitu, dia akan pulang sekarang. Sekretaris saya yang akan mengurus biaya administrasi dan keperluan lainnya," katanya dengan tatapan lurus ke arah Maya. Perasaannya saja, atau anak bungsunya itu menjadi lebih tenang?
"Apa lagi yang kau tunggu? Berdiri, kita pulang sekarang."
Sky dan Radit membulatkan matanya. Apa-apaan?! Pria itu baru menampakkan diri setelah Raya koma selama satu minggu, dan ingin langsung mengajaknya pulang begitu siuman? Ayah Raya benar-benar tidak memiliki hati. Dia gila!
Maya di sisi lain, yang masih berbaring, akhirnya berkata pelan, "Anda siapa?"
"Sebenarnya ibu dan adikku di mana?" Maya bingung. Sangat bingung. Dia sama sekali tidak mengenal orang-orang yang berada di satu ruangan ini.
"Kebohongan apa lagi ini?" Pria yang merupakan ayah kandung Raya itu mendadak menajamkan tatapannya. Matanya seolah tengah menghakiminya.
Maya seketika menyembunyikan dirinya di bawah selimut. Kenapa dia menatapnya tajam seperti itu? Maya ... hampir tidak pernah ditatap sedemikian rupa. Tubuhnya lemah sejak kecil, dan Maya juga anak yang penurut. Jadi, sang ibu tidak pernah memberikan tatapan menakutkan seperti tadi.
Maya takut. Kenapa ibu dan adiknya tidak kunjung datang?
"Cukup dengan dramamu yang menyedihkan!" Teriakan menggelegar itu membuat Maya mengeratkan genggamannya pada selimut. Tubuhnya sudah bergetar pelan.
"Pak, tolong tenang. Ayo kita bicarakan ini di ruangan saya. Ada beberapa kondisi yang harus Anda tahu," kata dokter dengan terburu-turu, khawatir pria itu akan berteriak lagi. Ia tidak tahu masalah apa yang terjadi antara ayah dan anak tersebut. Namun, tidak sepantasnya seorang ayah bersikap demikian.
"Dibayar berapa kau?" tuduhnya tanpa perasaan.
Saat dokter ingin mengatakan sesuatu, Radit lebih dulu bersuara, "Cukup, Om. Raya baru siuman. Dia masih membutuhkan perawatan dari dokter dan perawat di rumah sakit. Sebaiknya Om pulang sekarang."
"Radit benar. Jangan membuat keributan di sini!"
Ketika keadaan semakin memanas, seorang perawat datang. "Maaf mengganggu. Pasien bisa pulang sekarang karena pihak keluarga telah setuju. Semua berkas administrasi sudah diurus."
Maya mengeratkan genggamannya pada selimut. Dia tidak mau pulang jika tidak dengan ibu dan adiknya.
