[BYT] Bab 28 - Halusinasi
""Ibu, Ibu! Aku tadi bertemu dengan kak Maya!" Rafa berlari cepat menuju kamar sang ibu. Semenjak kematian kakaknya, ibunya lebih sering mengurung diri"
"Ibu, Ibu! Aku tadi bertemu dengan kak Maya!" Rafa berlari cepat menuju kamar sang ibu. Semenjak kematian kakaknya, ibunya lebih sering mengurung diri di kamar sendirian. Tanpa cahaya, suara, dan tanpa menyadari jika ia melupakan anak bungsunya.
Kriett ....
Suara pintu terdengar berderit pelan saat Rafa membuka pintu. Dengan cepat, matanya menemukan sosok ibunya yang duduk di kursi sambil melamun memandang ruang kosong di sudut kamar.
"Ibu, coba tebak aku bertemu dengan siapa tadi." Rafa menggoyangkan lengan ibunya dengan antusias. Meski lututnya masih berdarah karena terbentur trotoar, senyumnya tetap lebar dan cerah.
"Siapa ...?" Akhirnya, sang ibu membuka suara.
Senyum Rafa semakin mengembang. Bocah itu duduk di lantai, tepat di depan sang ibu yang duduk di kursi. Kepalanya mendongak, menatap ibunya dengan binar bahagia.
"Tadi aku bertemu dengan kak Maya. Wajahnya berbeda, tapi aku yakin dia adalah kak Maya!" ucap Rafa semangat.
Bola mata Sarah bergetar sesaat, sebelum kemudian mengalihkan pandangan. "Kakakmu sudah tiada, Rafa. Jangan mengada-ada."
Merasa tidak mendapat kepercayaan sang ibu, sebuah kerutan terbentuk di dahi Rafa. "Aku tidak mengada-ada, Bu! Aku sungguh-sungguh bertemu dengan kak Maya. Tapi orang-orang itu justru menculik kak Maya!"
"Ibu, kita harus melapor ke polisi! Orang-orang itu bisa saja melukai ka–"
"DIAM!"
Seketika, tubuh kecil itu tersentak ke belakang. Untuk pertama kalinya, Rafa mendapat bentakan dari ibunya sendiri.
"I-Ibu–"
"Ibu bilang diam!" Sarah berdiri tiba-tiba, membuat kursi yang tadi ia duduki terjungkal membentur lantai. Rafa membelalak. Spontan, ia menyeret tubuhnya untuk menjauhi sang ibu.
"Itu hanya halusinasimu, Rafa! Ibu sudah mengalaminya berkali-kali, tapi semua itu tidak nyata!"
Rafa menunduk, menatap pakaiannya yang kusam. Setitik air mata terlepas dari pelupuk matanya. "Aku ... tidak berhalusinasi."
Benar, 'kan? Mendadak, Rafa meragukan dirinya sendiri. Namun, apa yang terjadi tadi tampak begitu nyata. Bahkan luka di lututnya juga nyata.
'Memangnya halusinasi itu seperti apa?' Anak laki-laki itu bertanya dengan polosnya.
___
Di kediaman Adiwangsa, terlihat Maya yang diantar pelayan menuju meja makan. Pagi ini, gadis itu akhirnya diizinkan keluar dari kamar.
Di meja makan, para Adiwangsa sudah duduk di tempatnya masing-masing. Garry menoleh dari balik korannya, memandang Maya singkat sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada rangkaian kalimat di depannya.
Devon memberikan satu kedipan menggoda pada Maya yang berwajah masam. "Good morning, Little Mouse."
Maya tidak menanggapi. Gadis itu hanya menunduk, lalu duduk di kursi yang paling jauh. Ia ingin mengambil piring, tetapi sebuah tangan lebih dulu menahan tangannya.
"Berhenti merajuk seperti anak-anak. Dasar kekanakan!" cerca Axel sambil mengambilkan piring untuk Maya. Ia mengisinya dengan nasi terlebih dahulu, sebelum kemudian mendorongnya ke arah yang lebih muda.
Maya masih tidak memberikan tanggapan apa pun. Gadis itu marah dan kecewanya pada segalanya. Pada Adiwangsa, keadaan, dan dirinya sendiri yang tak bisa melakukan apa pun.
"Wah, Axel, kau benar-benar kakak yang baik." Devon menarik seringainya. Matanya memandang Axel tanpa berusaha menyembunyikan rasa cemburunya. Seharusnya ia bergerak lebih cepat tadi.
Axel berdecak kesal. Ia mengabaikan kakak sulungnya dan kembali memusatkan perhatiannya pada Maya.
"Apa nasinya kurang?" tanyanya sambil bersiap menambahkan lebih banyak nasi.
Dengan cepat, Maya menggelengkan kepalanya. Perutnya bahkan sudah terasa penuh hanya dengan melihat tiga centong nasi yang Axel tumpahkan ke piringnya. Dan kini, remaja itu ingin menambahkan lebih banyak nasi? Maya yakin ia tidak akan bisa menghabiskannya.
"Untukmu." Lexa meletakkan satu ekor ikan yang dimasak dengan saus asam pedas manis ke piring Maya.
Maya tidak bisa menahan rasa kagumnya. Matanya membola begitu melihat ikan yang dulunya hanya bisa ia lihat di televisi. Ia memang pernah memakan ikan dengan jenis yang sama, tetapi tidak sebesar ini.
"Gurame raksasa ...." Maya bergumam lirih. Meski demikian, semua orang yang ada di meja itu dapat mendengar bisikan Maya karena suasana yang hening.
Sudut bibir Garry terangkat tipis. Bukankah gadis itu terlihat begitu menggemaskan? Padahal, raga tersebut adalah milik Raya. Yang baginya, remaja itu tampak memuakkan dengan segala kenakalannya yang membuatnya sering dipanggil ke sekolah.
Putri sulungnya benar. Tubuh hanyalah cangkang kosong. Sejak awal, kebencian anak-anaknya pada Raya bukanlah karena rupa gadis itu yang begitu mirip dengan ibunya. Tidak.
Kebencian itu tumbuh murni karena latar belakang Raya dan ketidakcocokannya dengan para Adiwangsa. Pembawaan sikapnya, caranya berbicara, bagi mereka terlalu bising.
Satu-satunya kesalahan Raya adalah menjadi terlalu berapi-api. Yang sebenarnya ... sama sekali bukan sebuah kesalahan.
Raya hanya menginginkan haknya sebagai anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang dari keluarganya.
"Apa kau suka?" tanya Lexa sesaat setelah Maya menelan sepotong kecil ikan ke tenggorokannya.
Maya mengangguk kaku. Sayangnya, meski rasanya begitu lezat, Maya masih tetap merasa 'kosong'. Netranya berpindah, menatap tangan kirinya yang bergerak gelisah di pangkuan.
Tujuannya patuh mengikuti sarapan ini adalah untuk kembali meminta para Adiwangsa 'memulangkannya' ke keluarga kecilnya. Namun saat mulutnya hendak terbuka, Garry lebih dulu bersuara.
"Devon, bagaimana perkembangan dari proyek yang kau pegang?"
Devon bergumam tanpa arti, memandang sang ayah malas-malasan. "Semuanya berjalan baik dan semestinya. No need to worry about that, Dad."
Sambil memotong ikan di piringnya, ia berdiskusi dengan Devon tentang suatu proyek yang Maya tidak mengerti. Menghela napas pendek, Maya akhirnya memilih untuk menyelesaikan makanannya terlebih dulu.
Gadis itu sama sekali tidak menyadari jika orang-orang di meja makan saling berbagi tatapan penuh arti. Pikir mereka, setidaknya bungsu Adiwangsa itu harus mengisi perutnya hingga penuh sebelum perdebatan dimulai.
Akhirnya, sarapan pagi itu diiringi dengan perbincangan Garry dan si sulung mengenai pekerjaan. Lexa dan Axel akan sesekali menimpali. Sementara itu, Maya memilih fokus menghabiskan makanan di piringnya.
Ketika suapan Maya yang terakhir berhasil tertelan, gadis itu cepat-cepat meminum air putih yang disediakan. Dengan ragu, Maya memandang setiap Adiwangsa. "Aku- aku ingin pulang."
Suara itu terdengar gugup dan tegas di saat bersamaan. Maya tahu ia tidak mungkin bisa keluar dari kediaman ini begitu saja. Tidak dengan banyaknya pelayan berkeliaran yang mengabdi hanya kepada Adiwangsa.
Ah, ia bahkan baru bisa keluar dari kamar Raya yang bagaikan sangkar emas itu pagi ini.
"Kau tahu jawabannya, Maya— tidak dan tidak akan pernah!" Sama sekali tak ada kelembutan di suara Axel. Remaja itu menatap Maya dengan tajam.
Padahal ia tahu jika cepat atau lambat, gadis itu akan kembali mengatakan keinginannya untuk pulang. Namun, ternyata susah sekali mengontrol amarahnya saat membayangkan Maya akan pergi jauh dan tidak akan kembali lagi.
"Kau dengar itu, Maya. Jangan memancing emosi kami," tambah Lexa dengan nada dingin khasnya.
Maya menggigit pipi bagian dalamnya. Ada perasaan marah di dadanya, tetapi ia tidak tahu harus dengan apa untuk mengungkapkannya.
"Bukankah kami sudah menjelaskannya padamu berkali-kali? Menurutlah sekali ini saja." Garry masih bisa dengan kasual menggerakkan tangannya untuk menyuapkan sepotong daging ikan ke mulutnya.
"Tapi aku tidak menginginkan ini." Maya mencengkeram jarinya dengan kuat, mencoba menghalau rasa gelisahnya.
"Come on, just accept your fate. Jiwamu masuk ke tubuh Raya. Jadi, tubuh itu adalah milikmu. Dan karena Raya adalah bagian dari kami, bukankah kami tidak bisa melepaskanmu begitu saja?" Devon menancapkan ujung garpu ke daging ikan. Pria muda itu tersenyum bagai tak memiliki dosa.
Mendengar itu, Maya seketika menggelengkan kepalanya. Menerima takdir begitu saja? Mungkin Maya akan melakukannya jika ia hidup sebatang kara. Namun faktanya, Maya masih memiliki keluarga kecilnya. Keluarga yang sangat menyayanginya dan selalu mendukungnya.
Jadi, menerima takdir adalah opsi yang tidak akan pernah Maya pilih.
"Aku ... ingin melakukan negosiasi."
___
Ada yang bisa nebak nggak apa yang Maya mau dan tawarin? ><

Eh eh eh udah ada part baru lagi nih
BalasHapusMakasih banyak ka Ao sudah memberikan cerita yang luar biasa, makin makin terhanyut akan alur cerita ini wkwkwk
Awalnya aku paling gak suka cerita2 tentang transmigrasi, tapi pas lihat judulnya cerita ini seperti ada magisnya buat aku penasaran dan terus hanyut membaca
Makasih banget ya ka ao, terus sehat dan semangat nulisnya
Ah, kebetulan ini udah publish versi lengkapnya. Bisa langsung lanjut baca atau baca ulang ><
HapusAwww, so sweetttt. Makasih kembali, Sayang. Sehat-sehat, yaa (*´˘`*)♡
Waahhh sudah ada lanjutannya ternyata, kirain lanjutannya bakalan nanti2 wkwkwkwk.
HapusJadi penasaran penawaran apa yang bakalan di kemukakan oleh Maya?
Walah ini mah harus sabar2 nunggu buat chapter berikutnya dengan hati yang sudah menggebu-gebu wkwkwk
Ini pasti gara-gara Ao-nya yang sering ghosting, nih (〃∀〃)ゞ
HapusDitunggu yaaaa ><
Wahhh kakkkk, kerennnn, hebattttt sebelumnya aku nyariii ceritaa kaya ginii susahh bangett ihhh
BalasHapusUntung kaka hadirrrrrr, lopyuu kakkk 🫶🏻
Lopyu jugaaa. Makasih ya udah suka sama cerita ini (∩´∀`∩)💕
HapusTadinya mau nabung bab, tapi mana tahannnn😭😭
BalasHapusSEMANGAT KAKKKKK!
Wkwkwk, MAKASIH SEMANGATNYAAAA! ><
Hapussemangat kak >
BalasHapusMakasihhh :>
Hapusyok di lanjut, semangat kak!!
BalasHapusDitunggu, yaa, makasih semangatnya!! (●♡∀♡)
Hapusasik bangetttt
BalasHapusBaca komen² kalian juga asuk bangettt ><
Hapusnxksdhskshskiis akhirnya baru bisa baca lagii😭😭
BalasHapusYeyyyyyy ( ✧Д✧) YES!!
HapusGak terasa udah mau 1 minggu aja nih chapter 28 wkwkwkwk
BalasHapusSekarang pindah ke Victie, hehe 🙈
Hapus