0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 26 - Berita Mengejutkan

"Raya adalah anak yang diinginkan secara sepihak. Ibunya merupakan satu-satunya orang yang menginginkan keberadaannya agar bisa menjerat Garry— pengusa"

Raya adalah anak yang diinginkan secara sepihak. Ibunya merupakan satu-satunya orang yang menginginkan keberadaannya agar bisa menjerat Garry— pengusaha kaya raya yang hartanya tak akan habis tujuh turunan.

Sayangnya, keinginan dan kasih sayang adalah hal yang berbeda. Ibunya menginginkannya, bukan menyayanginya. Sementara di sisi lain, Garry bahkan tidak sudi untuk sekadar menghabiskan waktu dengannya. 

Jadi, hidup Raya dihabiskan dengan mencari kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan. Namun sekeras apa pun ia mencoba, para Adiwangsa tetap tidak menyukainya.

Usianya baru tujuh tahun saat ia menemukan buku aneh di dalam gudang. Buku itu seolah-olah memanggilnya, dan Raya sama sekali tidak keberatan untuk 'memenuhi' panggilan tersebut.

Raya menuliskan harapannya, dan saat ia tertidur, harapan itu terwujud. Namun, hari itu, sesuatu yang aneh terjadi. Raya tidak hanya bermimpi. Dia ... masuk ke dunia fiktif yang menjadi harapannya selama tiga hari penuh.

Untuk pertama kalinya, Raya merasa sangat bahagia. Dia pergi ke pantai dengan orang tua yang ia ciptakan sendiri, bermain bersama, dan saling bercengkerama. Semuanya sangat menyenangkan. Hingga setelah tiga hari, Raya kembali. 

Gadis kecil itu kecewa bukan main saat usahanya untuk kembali ke 'dunianya' tidak membuahkan hasil. Alih-alih, ia justru menemukan para Adiwangsa yang mendadak bersikap seolah menyayanginya.

Raya yang polos benar-benar merasa bahagia, memikirkan jika ia tidak membutuhkan buku tersebut lagi. Namun ternyata, takdir lagi-lagi mempermainkannya. Begitu ia membuka mulut, wajah berbinar semua orang berubah. 

Mereka mengernyit, lalu kembali 'membuangnya'. Apa yang terjadi?

Raya menanyakan hal tersebut pada langit malam. Di mimpinya malam itu, Raya melihat sosok gadis kecil yang dipeluk ibunya dengan erat. Wajah wanita itu penuh dengan air mata. Sejak tadi, kata-kata syukur tak pernah berhenti keluar dari bibirnya yang pucat.

Anak itu ... baru saja siuman setelah koma selama tiga hari.

Kesadaran menghantam Raya dengan keras. Terjawab sudah.

Seakan keditaksukaan anak-anak Adiwangsa tidak cukup membuatnya menderita, ibunya justru 'membunuh' sang nyonya rumah. Kebencian itu kemudian tumbuh seperti api yang disiram bensin dan diterpa angin kencang.

Akhirnya, ibunya diusir. Raya ingin ikut, tetapi ibunya menolak keras karena tidak ingin membawa beban. Kata-kata penuh makian yang menyakitkan keluar dari bibirnya yang diwarnai semerah darah. 

Dalam diam, Raya membanding ibunya dengan nyonya Adiwangsa dan wanita di mimpinya. Jika mereka bisa menyayangi anak-anaknya dengan begitu lembut dan tulus, mengapa ibunya tidak bisa?

Sejak saat itu, Raya menyerah. Ia tak lagi mencari perhatian ayah dan kakak-kakaknya. Raya menjadi anak yang pembangkang, hingga kecelakaan itu kemudian terjadi.

Raya ... akhirnya kembali ke 'dunianya'.

___

"Hee~ so this is our Maya? How adorable!" Devon merampas lembaran foto Maya dari tangan Axel. 

Itu adalah foto Maya saat usianya baru menginjak dua tahun, ketika penyakit ganas belum menggerogoti tubuhnya. Rambutnya sepanjang leher, meliuk di ujung dengan lembut. Matanya yang bulat terlihat mengantuk, dengan bibir mungil sedikit mengerucut.

"Ini punyaku!" Axel dengan cepat merampas kembali foto tersebut.

Devon memutar matanya dengan dramatis. Seringai kecilnya kemudian tumbuh begitu menemukan lebih banyak foto yang tergeletak di meja. Semuanya adalah foto Maya. Meski di foto-foto tersebut Maya lebih sering memakai pakaian rumah sakit, senyumnya masih sehangat mentari. Tatapan matanya sedikit sayu, dan hal itu membuat Devon menggila. 

"Such a fragile little thing ...."

Dia sangat, sangat, sangat menyukai sesuatu yang rentan dan indah. Sayang sekali, wajah itu tak bisa ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Karena menurut informasi yang Rendi berikan, tubuh Maya sudah terkubur dalam-dalam di bawah tanah.

Sementara Axel dan Devon sedang sibuk mengagumi foto-foto Maya, Lexa mengalihkan pandangan pada Garry. Ayahnya itu terlalu diam hari ini. Tatapannya terfokus pada salah satu foto di mana Maya yang masih bayi berada di gendongan wanita muda. Di belakangnya, seorang pria dengan senyum lebar memeluk wanita tersebut dengan erat.

"Ayah mengenal mereka?" Pertanyaan itu sedikit membuat Garry tersentak.

"Hanya ... masa lalu." Garry berkata dengan nada datar. 

Memilih tidak peduli, Lexa kemudian mengambil salah satu foto yang menarik perhatiannya. Di foto tersebut, Maya terlihat berpelukan dengan adiknya. Senyumnya melengkung lebar, dengan mata membentuk garis lurus. 

"Kenapa senyumnya lebar sekali?" Axel, yang ternyata ikut melihat, mengeluarkan decakan kesal. Ia tidak pernah melihat Maya tersenyum selebar itu jika bersamanya.

"Why? Because you always annoy her, Little Bro." Axel langsung mendelik pada Devon.

"Shut up!" ketus Axel yang hanya dibalas seringai setipis bulu oleh Devon. Kakak sulungnya itu memang baji-ngan menyebalkan.

"Ayah, apa yang harus kita lakukan pada mereka?" tanya Lexa mengalihkan pembicaraan. 'Mereka' yang Lexa maksud adalah ibu dan adik Maya. 

Sudah sejauh ini. Jadi, tidak mungkin ia melepaskan jiwa Maya begitu saja. Tidak ketika gadis itu begitu manis, menggemaskan, dan membuat hatinya berdesir setiap mata mereka bertemu. Lexa tidak peduli meski Maya berada di raga Raya yang dibencinya setengah mati. 

Bukankah tubuh hanyalah cangkang kosong?

"Nothing." Garry menjawab singkat.

Lexa tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Garry lamat-lamat, sebelum kemudian membuang muka ke arah lain.

___

Maya menyuapkan makanan yang disiapkan ulang dengan malas. Matanya menatap kosong ke jendela, hingga tiba-tiba, sesosok bayangan muncul. Maya hampir saja berteriak andai tidak mengenali siapakah sosok di balik jendela tersebut.

"Radit ...?" Mata Maya membulat penuh. Gadis itu meletakkan piring kembali ke nampan, lalu berjalan menuju jendela yang terkunci dan dilapisi terali.

"Apa-apaan ini?" Radit mengerutkan kening. Sejak kapan terpasang terali bak penjara di kamar temannya?

"Bagaimana kau bisa naik ke sini?" tanya Maya tanpa bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Kamar Raya tidak dilengkapi balkon, hanya jendela yang menghadap langsung ke halaman samping. Bagi Maya, tindakan Radit benar-benar ekstrim dan berbahaya.

Tanpa kata, Radit menunjuk pohon yang bersebelahan dengan jendela kamar Raya. "Kenapa kau sama sekali tidak mengangkat telepon dariku?" 

"Telepon?" Maya mengerutkan kening. Ah, benar, ponsel Raya sudah tidak lagi berada di tangannya.

"A-ah, maaf, ponsel Ray- ponselku hilang entah ke mana," kilah Maya terbata-bata. Ia tidak berbohong, 'kan? Ponsel itu memang menghilang begitu saja. Meski sebenarnya, Maya yakin jika para Adiwangsa-lah pelaku di balik menghilangnya ponsel tersebut.

"Oh ...." Radit termenung sebentar, sebelum kemudian matanya kembali menatap Maya dengan serius. "Apa kau juga sama sekali tidak menonton berita di televisi?"

Maya menggeleng spontan. Kamar Raya tidak dilengkapi televisi, dan ia terjebak di ruangan ini tanpa bisa mendapat akses dari dunia luar sedikit pun. 

Sebaris kerutan terbentuk di dahi Radit. "Tunggu- jangan bilang ... kau tidak bisa keluar dari kamar ini? Mereka mengurungmu, Raya?"

Kali ini, Maya mengangguk. Radit menggerang frustrasi. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Adiwangsa melakukan hal-hal seperti ini?

"Ray, listen, kumohon jangan terkejut, oke?" Radit membasahi bibirnya, memandang Maya dengan ragu. "Sky ... ditemukan tergantung di kamarnya."

Maya membelalakkan matanya. Lututnya mendadak terasa lemas. 

"Dia membunuh dirinya sendiri kemarin malam. Beritanya sudah ada di mana-mana."​

___

Masa lalu Raya: done! (〃∀〃)ゞ
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
18 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS