0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 24 - Terkurung

"Rendi baru saja menyelesaikan makan malamnya ketika Garry mengirimkan rekaman CCTV di salah satu jalam di kota Y. Intruksi Garry singkat— bosnya itu i"

Rendi baru saja menyelesaikan makan malamnya ketika Garry mengirimkan rekaman CCTV di salah satu jalam di kota Y. Instruksi Garry singkat— bosnya itu ingin ia mencari tahu tentang bocah laki-laki lusuh yang terlihat di video.

"Aku kira tidak akan ada pekerjaan lagi ...." Rendi mengembuskan napas panjang. 

Pria itu segera kembali duduk di meja kerjanya. Sesuai dengan alamat yang ada di rekaman tersebut, ia bisa dengan mudah mengakses CCTV yang ada di sekitar sana. 

Hingga akhirnya, setelah menelusuri banyaknya rekaman dari waktu ke waktu, Rendi menemukan rumah anak laki-laki tersebut. Pencarian pun berlanjut.

Tidak terasa, matahari sudah hampir terbit. Maya Rendi yang sudah hendak tertutup seketika membelalak saat mengetahui jika anak tersebut kemungkinan besar berhubungan dengan pasien kakaknya.

Dengan menggebu-gebu, Rendi mempercepat pencariannya. Mulai kartu keluarga yang terdaftar, riwayat kesehatan, dan ... tempat persemayaman terakhir dari Maya Sekar Arum.

Satu pertanyaan bersemayam di kepalanya— untuk apa atasannya mencari tahu tentang pasien kakaknya yang sudah tiada?

Rendi mencoba menghubungkannya dengan perubahan sikap dari bungsu Adiwangsa. Namun, semua kemungkinan yang dapat ia pikirkan sangat tidak bisa diterima akal sehatnya.

"Gila, kau benar-benar sudah gila, Rendi. Ini dunia nyata, bukan dunia fantasi." Rendi mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Tangannya yang lain bergerak untuk mengirimkan temuan yang sudah ia rangkum ke dalam satu dokumen kepada Garry.

Di tempat lain, Garry sedang menggendong Maya yang tak sadarkan menuju mobil. Namun baru beberapa langkah, ponselnya bergetar sekali— pertanda jika ada pesan yang masuk.

Garry mengabaikannya. Ia melanjutkan langkahnya, mendudukkan Maya di dalam mobil terlebih dahulu, sebelum kemudian membuka ponselnya. Rendi-lah pengirim pesan tersebut. Pria itu menyisipkan satu dokumen dengan ukuran yang cukup besar.

"Masuk." Garry memberi isyarat kepada Devon dan si kembar untuk masuk ke mobil. Barulah setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, pria itu lantas duduk di sebelah kursi kemudi.

"Jalankan mobilnya," perintah Garry pada sang supir, yang segera pria tua itu patuhi.

Dalam perjalanan, Garry disibukkan dengan ponselnya. Ia tengah membaca sekaligus menganilisis dokumen yang asisten pribadinya kirimkan. Ekspresi wajahnya tetap datar dan dingin. Namun jika dilihat lebih teliti, ada keterkejutan di tatapan matanya yang tak bisa ia tutupi.

Di saat yang sama, Devon juga tengah memainkan ponselnya. Entah apa yang tengah pria muda itu kerjakan. Sementara di kursi belakang, Axel dan Lexa terlihat sedang memainkan rambut Maya sambil berbincang dengan suara lirih.

Mobil terus berjalan, dan Maya masih berada di bawah alam bawah sadarnya untuk menyadari jika semuanya tak akan lagi sama. 

___

'Kenapa lagi-lagi seperti ini ...?' Maya memandang nampan yang masih penuh di atas nakas dengan tatapan kosong.

Ketika ia membuka matanya, Maya menyadari jika ia kembali ke kamar Raya. Lengkap dengan jendela yang sudah dipasang terali dan pintu yang terkunci rapat dari luar. Ponsel Raya juga sudah tak terlihat lagi di mana pun.

Maya muak, dia benar-benar tidak tahu lagi harus melakukan apa untuk kembali bersama keluarga kecilnya. Tidak ada satu pun usahanya yang membuahkan hasil.

Dia memang berhasil bertemu dengan adiknya. Namun, Maya justru merasa makin tertekan. Keadaan adiknya tidak baik-baik saja. Dan Maya tahu, kondisi ibunya tidak akan lebih baik— bahkan mungkin lebih buruk.

Maya menelungkupkan wajahnya di kedua telapak tangannya, menangis tanpa suara. Tubuh yang bukan miliknya itu bergetar ringan. "I-Ibu, Rafa, aku ingin pulang ...." 

Air mata Maya mengalir deras, membasahi telapak tangannya. Sesak di dadanya kian menjadi-jadi. Sebanyak apa pun Maya berdoa dan memohon, tidak ada keajaiban yang terjadi. Gadis itu tetap berada di tubuh Raya yang terasa seperti semakin menyatu dengan jiwanya.

"Kenapa harus aku yang terjebak di sini ...?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Bayangan wajah sang ibu terlintas di ingatannya— begitu lembut dengan tatapan penuh kasih sayang. Tidak ada satu pun kata kotor atau bentakan yang pernah keluar dari bibirnya. Di sebelah ibunya, Rafa terlihat tersenyum lebar sambil menghiburnya yang saat itu harus menginap di rumah sakit.

Hati Maya terasa hancur hanya dengan membayangkan Rafa yang mungkin tengah menunggunya. Andai para Adiwangsa itu memiliki setitik saja kebaikan, Maya pasti sudah pulang bersama Rafa ke rumah ibunya. Sayangnya, sama sekali tak ada kebaikan yang Maya lihat saat mereka memaksanya meninggalkan Rafa yang mengejar mobil dengan langkah terseok.

Ada momen di mana Maya takut. Bagaimana jika ... ia mulai melupakan tawa ibu dan adiknya? Bagaimana jika kenangan tentang keluarga kecilnya terhapus perlahan seperti sapuan ombak di tepi pantai yang membawa butiran pasir?

"Kau belum memakannya?" Tanpa suara, atau mungkin hanya karena Maya yang kurang memperhatikan, pintu sudah terbuka dengan Garry yang berdiri di ambang pintu. Langkahnya tegap saat pria itu berjalan menuju arahnya yang duduk di tepi ranjang.

"Aku ingin pulang," kata Maya tanpa basa-basi. Gadis itu mendongak, menatap Garry dengan mata berkaca-kaca. Bekas air mata tercetak jelas di pipinya.

"Ini adalah rumahmu." Garry mengangkat nampan yang ada di atas nakas, lalu meletakkannya di pangkuan Maya. Isi nampan itu lengkap. Karbohidrat, serat, hingga makanan penutup— semuanya ada. Satu-satunya yang hilang adalah nafsu makan Maya. Bagaimana dia bisa makan saat pikirannya tertuju pada luka adiknya yang belum sempat ia obati?

Bagaimana jika luka itu infeksi? Bagaimana jika anak-anak nakal itu merundung adiknya lagi? Bagaimana jika ... Rafa memilih menyerah?

"Ini rumah Raya, bukan rumahku." Maya menunduk, menatap kuah dari sup daging yang memantulkan wajah berantakan 'Raya'. Benar, itu bukan dia. Maya harus sering-sering mengingatkan dirinya saat menatap ke arah cermin jika wajah tersebut bukanlah miliknya.

"Lalu di mana rumahmu? Pemakaman umum?" 

Seketika, Maya mendongak. Pupil matanya sedikit bergetar ketika bersitatap dengan mata dingin Garry. "Tubuhmu yang lama sudah mati dan terkubur dalam tanah. Dan saat ini, tubuh Raya-lah yang kau gunakan. Menyerahlah. Karena kami, Adiwangsa, tidak akan pernah melepaskan anggota keluarga kami begitu saja."

'Bahkan dulu, meski aku tidak menyukai anak wanita penghibur itu, aku tak pernah bisa membuangnya ke jalanan.' 

Garry melangkah mundur satu langkah. Matanya masih terkunci pada mata 'Raya' yang memandangnya penuh keterkejutan. "Habiskan makananmu, sebelum aku membuatmu makan dengan cara yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya."

"Kalau begitu lakukan saja. Kalian memang seperti itu, 'kan? Kejam, arogan, jahat." Maya mengambil nampan di pahanya, lalu meletakkannya kembali ke atas meja. Meski takut, gadis itu mencoba menatap Garry dengan berani. 

"Kau benar-benar menguji kesabaranku." Garry memijat pangkal hidungnya. Ia memilih mengabaikan kalimat provokatif yang Maya ucapkan dan berjalan keluar.

Namun sebelum pria itu benar-benar menutup pintu, ia berkata, "Pantas saja Sarah sangat menyayangimu. Kalian benar-benar terlihat sama."

Klik

Pintu kembali terkunci, meninggalkan Maya yang tertegun di tempatnya. Dari apa yang Garry katakan, tampaknya dia memang sudah menyelidiki latar belakangnya. Namun, untuk apa? Pria itu ... tidak akan menyakiti keluarga kecilnya, 'kan? Dan kenapa cara bicara Garry seolah-olah pria itu mengenal ibunya?

___

Maya memainkan jari-jemarinya, memandang ke luar jendela dengan tatapan tak tenang. Matahari sudah hampir tenggelam, tetapi ia masih belum juga menemukan cara untuk keluar.

Bagaimana keadaan adiknya sekarang? Apa Rafa sudah mengobati luka-lukanya?

Maya berjalan mondar-mandir di depan ranjang. Hingga kemudian, ia teringat dengan buku milik Raya yang belum sempat dibacanya. Benar. Mungkin ada petunjuk di sana.

Dengan tergesa, Mata mengangkat bantal yang berada di ujung. Untungnya, kunci itu masih ada di sana. 

Tanpa menunggu lagi, Maya langsung membuka laci dan mengeluarkan buku milik Raya. Buku dengan sampul yang membuatnya agak bergidik ngeri itu kemudian dibukanya.

Raya memeluk kedua orang tuanya dengan erat. Gadis kecil itu mendongak, memamerkan senyum lebarnya. "Ayah, Ibu, ayo bermain bersama!"

Pria dengan wajah tegas itu mengangguk. Ia mengangkat Raya ke dalam gendongannya. "Anything for you, Princess."

"Putri Ibu ingin bermain apa?" Wanita dengan senyum lembut itu mengusap-usap puncak kepala Raya.

"Aku ingin bermain boneka. Apa boleh, Ayah, Ibu?"

Kedua orang dewasa itu mengangguk seirama. "Tentu, kita akan bermain bersama."

"Hah?" Kening Maya membentuk perempatan jalan. 

Buku apa ini sebenarnya? Novel? Karena sepanjang Maya membaca, tidak ada satu pun tulisan yang terlihat seperti milik Raya atau ditulis oleh remaja tersebut.

Berbeda dengan buku bersampul merah muda yang merupakan hasil tulisan tangan Raya sendiri, buku ini justru lebih terlihat seperti diketik oleh mesin.

"Aneh ...."

Maya kembali membalikkan halaman demi halaman. Di buku tersebut, Raya dituliskan sebagai tokoh utama yang memiliki keluarga lengkap. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya, dan tidak ada satu pun konflik yang dapat Maya temukan. 

Buku ini ... terlalu sempurna— benar-benar tanpa celah.

Brakk! 

Kesadaran Maya tiba-tiba menghilang. Gadis itu tergeletak di lantai dengan buku yang belum terlepas dari tangannya.​

___

Siapa dulu yang bilang bakal up dua hari sekali? T_T

Pokoknya Ao nggak mau asal ngomong lagi. Udah kayak ngumbar janji palsu aja wkwk
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
18 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS