0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 23 - "My Guess? She's Adorable."

"Garry memandang Maya untuk terakhir kalinya, sebelum kemudian melangkah keluar. Suara 'klik' lirih terdengar, bersamaan dengan ponselnya yang bergetar"

Garry memandang Maya untuk terakhir kalinya, sebelum kemudian melangkah keluar. Suara 'klik' lirih terdengar, bersamaan dengan ponselnya yang bergetar karena panggilan telepon.

"Pak, bisakah Anda memberikan saya keringanan? Waktu tiga hari benar-benar terlalu terbatas untuk mencari siapa Maya yang Anda maksud–"

"Hentikan pencarian."

Ada jeda lama di seberang telepon. Garry melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja mendiang ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di sana, Axel dan Lexa sudah menunggu sambil memainkan ponselnya di sofa.

"Hah? Kenapa tiba-tiba sekali, Pak?" Rendi hampir saja mengeluarkan decakan kesalnya. 

Tidak tahukah atasannya itu jika ia sudah mengumpulkan banyak biodata dari gadis yang bernama Maya dalam satu hari ini? Lalu sekarang, Garry justru memintanya menghentikan pencarian.

"Akan kujelaskan nanti."

Panggilan telepon berakhir secara sepihak. Rendi berteriak frustrasi, sementara Garry dengan santai mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan anak kembarnya.

"Jadi? Apa yang sebenarnya terjadi?" Garry menyatukan kedua tangannya di atas meja, menatap Lexa dan Axel secara bergantian.

"Kami bertemu dengan adiknya." Lexa kemudian menjelaskan apa saja yang terjadi. Berawal dari hilangnya Maya secara tiba-tiba yang membuatnya dan Axel panik, hingga ditemukannya gadis itu di gang gelap bersama anak laki-laki yang memiliki luka lebam di tubuhnya.

"Apa ada CCTV di sekitar sana?" tanya Garry dengan kening yang sedikit berkerut. Dari cerita Lexa, tampaknya Maya memang sengaja meminta pergi ke taman tersebut karena ingin bertemu dengan adiknya. Itulah mengapa gadis tersebut terlihat begitu senang sejak membuka matanya di pagi hari.

Lexa mengangguk sekali. "Jalan di sana sudah dilengkapi beberapa kamera pengawas. Lalu ada kamera lain dari toko-toko di sekitar."

"Memangnya kenapa? Bocah lusuh itu sama sekali tidak penting. Kita hanya perlu menjauhkan mereka." Axel melipat kedua tangannya di depan dada. Remaja itu tampaknya masih kesal karena Maya yang sulit dikendalikan.

"That's the point, Little Brother. Jika kita ingin mengambil tikus kecil dari sarangnya, bukankah kita harus mengetahui seberapa kuat akar yang menahannya?" Suara Devon tiba-tiba terdengar dari ambang pintu yang terbuka. Pria itu menyandarkan tubuhnya di kusen, menyeringai kecil sambil menatap ke arah Axel yang merengut kesal.

"Lagi pula ... tidakkah kau penasaran dengan masa lalu adik kecil kita? Her face, her demeanor, and everything about her." Devon menutup pintu dengan ujung kakinya.

"My guess? She's adorable." Pria itu kemudian berjalan mendekat, lalu duduk di bagian sofa yang masih kosong. Seringai tipis yang senantiasa bermain di bibirnya.

Garry mengangguk. "Devon benar. Kita juga perlu mengetahui keadaan tubuh aslinya. Apakah raga itu sudah kosong ... atau ada jiwa lain di dalamnya."

Axel terhenyak. Benar. Ia tidak akan membiarkan Maya tiba-tiba menghilang seperti dulu. Tidak untuk kedua kalinya.

***

Keesokan paginya, bahkan sebelum matahari terbit, Maya terbangun dari tidurnya. Matanya membelalak penuh ketika menyadari jika ia sudah tak berada di dalam mobil lagi.

Gadis itu bangkit, lalu dengan cepat mendorong pegangan pintu ke bawah. Sayangnya, sebanyak apa pun ia berusaha, pintu itu tidak terbuka sedikit pun. 

Maya tidak menyerah. Ia berlari menuju jendela, menyibak gorden tebal yang menutupi kaca, lalu mencoba membukanya. Namun, ia terlambat— sangat terlambat. Gembok yang sama dengan yang ada di kamar Raya telah terpasang di sana.

"Aku harus keluar dari tempat ini. Aku harus bisa keluar." Maya bergumam dengan suara lirih yang bergetar ringan. 

Sekilas, bayangan adiknya yang penuh luka terlintas di benaknya. Ia sudah sejauh ini, sudah begitu dekat untuk kembali bersama dengan keluarga kecilnya. Jika Maya gagal, ia tidak tahu apakah akan ada kesempatan lain di lain hari. 

Pandangannya mengedar, sebelum kemudian terpaku pada kotak perhiasan yang terbuat dari kayu yang cukup kokoh. Maya mengambilnya, lalu menoleh ke arah gembok dan rantai yang mengunci jendela.

Ia mengangkat kotak tersebut tinggi-tinggi, kemudian menghantamkannya ke gembok yang terkunci dengan kuat. Sekali, dua kali, tiga kali, Maya terus melakukannya dengan harapan gembok itu akan rusak. Dentuman kayu yang menghantam besi bergema memenuhi ruangan, menciptakan suara berisik yang menusuk telinga.

Namun alih-alih gembok yang rusak, pintu justru terbuka dari luar. Suara engsel yang berderit pelan membuat gadis itu menoleh cepat. Punggungnya menyentuh jendela saat ia tanpa sadar melangkah mundur.

"Wah wah, beruntung aku tidak lupa memasang gembok itu." Tawa penuh ejekan terdengar dari sosok tinggi yang melangkah mendekat.

Maya berdiri di tempatnya dengan lutut yang terasa goyah. Kepalanya terangkat tinggi, mencoba menyingkirkan rasa takut yang membuat bulu kuduknya berdiri.

"B-biarkan aku pergi." Suara yang dipaksa keras itu membuat Devon menghentikan langkahnya. Sekali lagi, tawanya bergemuruh.

"And why should I, Little Mouse?" Devon menunduk, menatap wajah pucat Maya yang menerbitkan seringai di bibirnya.

"Because- because I don't belong here," cicit Maya, berusaha menyembunyikan rasa takutnya dengan meremas tangannya di balik punggung.

Devon memiringkan kepalanya, memandang Maya dengan iris birunya yang menghanyutkan. "Oh yeah? But you're wrong, Little Mouse. You belong here. You ... belong to us."

Kata-kata itu meluncur dengan begitu halus. Saking halusnya, Maya seolah-olah bisa merasakan rantai tak kasat mata yang membelenggu tubuh dan jiwanya.

"End of discussion." Devon mengangkat tangan kanannya ketika melihat Maya yang membuka mulutnya.

"Get ready. Kita akan pulang dalam tiga jam." 

Mendengar itu, mata Maya seketika membulat lebar. Tidak. Ia tidak bisa kembali sekarang. 

"Aku tidak ingin kembali ke rumah itu. Tolong berhenti memaksakan kehendak kalian padaku!" Kedua tangan Maya terkepal erat. Matanya menatap Devon dengan keberanian yang ia paksakan.

"Atau apa?" Suara Devon terdengar lebih berat dari biasanya. 

Maya sudah ingin melangkah mundur, ketika ia menyadari punggungnya telah membentur jendela sejak tadi. "A-atau aku akan melaporkan kalian ke polisi."

Pernyataan itu keluar begitu saja dari bibirnya. Yang sejujurnya, Maya bahkan tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.

Lagi pula, atas dasar apa ia akan melapor kepada pihak berwajib? Penculikan? Mereka sama sekali tidak melakukan hal tersebut— tidak dengan jiwanya yang jelas-jelas berada di raga bungsu Adiwangsa. Polisi mungkin justru akan menertawakannya.

"Pfftt!" Devon menyisir rambutnya ke belakang, tertawa sinis.

"Lucu sekali. Sebelum kau berpikir untuk melapor ke polisi, pikirkan lebih dulu apakah kau memiliki akses untuk itu. Which looks like ... you don't huh?" Tanpa memedulikan Maya yang ketakutan setengah mati, pria itu melangkah mendekat hingga dadanya membentur kepala Maya.

Devon kembali terkekeh. Ia bisa merasakan tubuh itu bergetar hebat. 

"Oh, Little Mouse … you’re way too adorable to let run off, don’t you think?" bisik Devon sambil merendahkan tubuhnya hingga kini wajahnya sejajar dengan Maya.

"Sweet dreams." 

Tubuh Maya seketika ambruk ke pelukannya saat tangannya membentur tengkuk gadis itu dengan kuat dan presisi. Devon kembali mengeluarkan tawanya. Cara baik-baik sepertinya memang tak berlaku lagi sekarang. 

Apa boleh buat, 'kan?

___

Kayak kata Devon, get ready, bab selanjutnya bakal cukup nguras emosi (↑ω↑)
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
16 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS