[KTML] Bab 2 - Babu(?)
""Bulan! Astaga, kenapa kau malah berkeliaran di sini?!" Tiba-tiba saja, seorang gadis dengan rambut sebahu menarik tangan Luna menuju arah yang sebali"
"Bulan! Astaga, kenapa kau malah berkeliaran di sini?!" Tiba-tiba saja, seorang gadis dengan rambut sebahu menarik tangan Luna menuju arah yang sebaliknya.
Luna mengerjapkan matanya. Ia melirik sekilas ke name tag gadis tersebut. "Molly?"
"Apa?!" Luna meringis, mengusap-usap tengkuknya yang tidak gatal. Kenapa remaja perempuan ini nyolot sekali?
"Kita harus cepat-cepat ke kelas sebelum pak Broto masuk." Molly bergerak lebih cepat, yang membuat Luna agak kesusahan untuk mengimbangi langkahnya.
"Pelan-pelan–"
"Diam dulu, Bulan!" potong Molly ngegas. Luna langsung kicep.
Selang beberapa menit, keduanya akhirnya sampai di kelas. Untungnya, guru dengan nama entah apa yang Molly sebut tadi, belum terlihat batang hidungnya.
Molly merogoh kolong meja, lalu menyodorkan tas yang isinya hanya angin itu pada Luna. "Nih, tas punyamu. Lain kali, jangan lemparkan tasnya lebih dulu. Jadi ketahuan kak Hava, 'kan!"
Beberapa menit yang lalu, kedua gadis itu memang datang terlambat. Gerbang sudah telanjur ditutup. Jadi, mereka tidak memiliki pilihan lain selain memanjat tembok. Sayangnya, saat bagian Bulan, gadis itu justru ketahuan si ketua OSIS— Hava Pratama.
"Mulai sekarang, panggil aku Luna, oke?" Luna menerima tas tersebut, lalu mencari sesuatu yang pastinya semua orang memilikinya— ponsel milik Bulan.
Molly mengernyit. "Untuk apa? Kau mau jadi filsuf?"
Luna tersedak ludahnya sendiri. Gadis itu sampai merasa tenggorokannya panas dan tercekik. Untungnya, Molly dengan cepat memberikan sebotol air.
"Anggap saja begitu," balas Luna setelah meneguk air habis-habisan. Ia kembali memasukkan tangannya ke dalam tas. Akhirnya, benda pipih itu dapat ia temukan.
Luna ternganga, menatap ponsel yang harganya puluhan juta itu dengan tangan bergemetar. "M-Molly, ini sungguh milikku?"
"Apa kau kehilangan akal sehatmu, Bulan? Of course it's yours!" sentak Molly sambil memutar bola matanya dengan dramatis.
Ah, sungguh, apa ini yang kakaknya rasakan saat menghadapi tingkahnya? 'Kakak, kesabaranmu memang seluas lautan,' batin Luna sembari mendesah lelah. Sepertinya ini memang karmanya.
Mengabaikan Molly, Luna memilih untuk menjelajahi ponsel Bulan demi mendapat informasi. Bagaimanapun juga, se-depresi apa pun dirinya, Luna harus bisa beradaptasi di dunia fiksi ini.
Toh, bukankah ia sudah mati?
Setelah mengutak-atik ponsel tersebut, Luna akhirnya menemukan beberapa informasi penting seperti kontak keluarga Bulan dan lain sebagainya. Luna juga jadi mengetahui jika raga yang ia tempati ini ternyata anak dari konglomerat ternama.
Namun, untuk apa jadi putri tunggal kaya raya jika perannya tetap menjadi figuran? Tck! Kakaknya pasti kecewa dengannya.
Tidak, Luna tidak menginginkan peran ini. Alih-alih menghindari plot, Luna memilih untuk mengubahnya. Ia ingin menjadi tokoh utama, mendapatkan Hava, dan bahagia selama-lamanya.
Lagi pula, ini hanya dunia di dalam buku. Tidak apa-apa jika Luna acak 'sedikit' saja, 'kan?
***
Keesokan paginya, setelah menikmati kemewahan sebagai Bulan di rumah mewahnya, Luna berjalan dengan langkah tegak memasuki gerbang sekolah. Gadis itu mengedarkan pandangannya, berusaha menangkap siluet atau apa pun itu dari seorang Hava.
"Hava Hava owh owh~" Luna bersenandung pelan sambil menggoyangkan kakinya.
Sayangnya, bahkan setelah ia sampai di kelasnya, laki-laki itu tak terlihat. Luna berdecak kesal. Masa dia harus memutari sekolah besar ini? Sudah dipastikan dirinya akan tersesat.
"Hei hei, apa kau tahu di mana kelasnya Hava?" tanya Luna pada teman sekelasnya yang entah siapa namanya.
"Hava? Maksudnya kak Hava ketua OSIS?"
Luna menepuk keningnya. "Iya, memangnya Hava siapa lagi?"
"Kelas 12 A. Tinggal lurus, lalu belok ke kana–"
"Thank you, Babe!" Luna sudah berlari keluar dari kelas dengan semangat.
Tidak menunggu lama, sampailah gadis itu di kelas Hava. Luna memiringkan kepalanya, mengintip ke dalam kelas dari ambang pintu.
Gotcha! Pemuda itu— Hava— terlihat sedang dikerubungi beberapa teman sekelasnya. Luna menatap tanpa berkedip.
Astaga ... bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan ciptaan Tuhan yang seindah ini?
"Hava!" Luna melambaikan tangannya dengan semangat.
Hava mendongak. Ada kernyitan tipis di kening mulusnya. Tanpa banyak bicara, remaja itu berdiri dan berjalan menghampiri Luna yang cengengesan.
"Kak Hava," koreksi Hava setelah ia berhadap-hadapan dengan Luna.
"Sama saja. Kita hanya beda satu tahun, 'kan?" Luna mengerlingkan sebelah matanya, membuat alis Hava terangkat tinggi dengan heran. Apa gadis ini kerasukan? Kenapa tiba-tiba jadi centil begini?
"Whatever. Untuk apa kau memanggilku?" tanya Hava tanpa basa-basi.
"Nge-date, yuk!" Luna memberikan senyum lebarnya.
Hava mengerjapkan matanya. Rahang tegasnya sedikit terbuka. "Apa kau sudah tak waras?"
Kini, Luna-lah yang ternganga. "Aku 'kan mengajakmu kencan! Kenapa malah mengataiku tidak waras?"
"Karena kau memang sudah gila," ucap Hava tanpa belas kasihan.
Luna meringis. Tangannya memegang dadanya dengan dramatis sambil berpura-pura mengeluarkan tangisan fiksi. "Hiks, hiks, hiks, kau menyakiti hati murniku."
"Jantung ada di sebelah kiri," koreksi Hava untuk kedua kalinya.
"Oh, iya." Luna menggeser posisi tangannya, lalu kembali meringis sakit seolah jantungnya tertusuk ribuan jarum. "Kau menyakitiku ... Hwaaa!"
Hava menghela napas panjang. "Stop being so dramatic. Kau membuat kita menjadi pusat perhatian."
"Exactly! That's why you should go out with me!" Luna mengedipkan matanya berkali-kali, mencoba bersikap imut yang membuat Hava mengurut batang hidungnya dengan lelah.
"Dan membuat semua orang membicarakanku? No, thanks." Hava, si Ice Prince itu sudah berbalik untuk kembali ke kelas, tetapi tangan Luna lebih dulu menyambar ujung almamaternya.
"Sekaliii saja, please?" pinta Luna dengan puppy eyes andalannya yang selalu dapat bekerja pada kakak perempuannya.
Have berbalik, meneliti ekspresi memohon Luna yang entah mengapa membuat hatinya sedikit tersentil. "Apa yang akan kudapatkan? Waktuku sangat berharga."
Tanpa berpikir dua kali, Luna menunjuk dirinya sendiri. "Me. You'll get me as your cute and lovely girlfriend."
Tanpa kata, Hava membalikkan badannya. Luna yang panik langsung menghadang langkah Hava dengan kedua tangan yang terentang lebar. "Bercanda, astaga! Aku hanya bercanda tadi. Tolong dengarkan penjelasanku dulu."
Hava menyilangkan tangannya, menatap Luna dengan tatapan datarnya seperti biasa. "Well? say it."
Luna seketika salah tingkah saat ditatap sedemikian dalamnya. Padahal sebenarnya, Hava hanya memandang Luna seperti biasa.
"Aku akan mengerjakan tugasmu selama satu minggu ke depan."
"Aku tidak membutuhkannya," tolak Hava mentah-mentah.
"Bagaimana kalau aku menjadi pelayanmu?"
"Kau pikir aku ini apa? Preman sekolah?"
Luna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tampak tengah berpikir keras. "Kalau ... bekal?"
Kali ini, kilat ketertarikan terlihat di mata Hava. "Bekal?"
"Iya, semacam bekal makan siang–"
"Oke."
Luna cengo. Gadis itu menatap tak percaya pada Hava yang sudah melangkah kembali ke dalam kelasnya. Sudah? Hanya seperti itu?
Padahal, Luna sudah bersiap menjadi babu seperti di buku-buku fiksi.
