0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 20 - Her Little Brother

"Beberapa jam setelah Rendi mengirimkan pesan, Feni justru meneleponnya daripada membalas pesan. Tanpa pikir panjang, Rendi langsung mengangkat panggil"

Beberapa jam setelah Rendi mengirimkan pesan, Feni justru meneleponnya daripada membalas pesan. Tanpa pikir panjang, Rendi langsung mengangkat panggilan tersebut.

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan soal Maya?" tanya Feni— kakak perempuannya— dari seberang telepon. 

Rendi berdeham sekali, berusaha mengusir rasa tidak nyaman di tenggorokannya. "Kakak biasanya selalu bercerita tentang gadis itu. Tapi aku belum mendengar kabarnya akhir-akhir ini. Apa ... dia baik-baik saja, Kak?"

Ada jeda lama di seberang telepon, yang membuat Rendi bergerak gelisah di kursinya. "Kak Feni?"

"A-ah, maaf. Aku melamun." Suara Feni terdengar serak, persis seperti seseorang yang tengah menahan tangis. 

"Kak–"

"Maya sudah sehat, Ren. Dia sudah bebas menggerakkan tubuhnya dengan leluasa tanpa merasa kesakitan lagi. Maya ... sudah tidak perlu meminum obatnya lagi setiap hari." Di akhir kalimat, suara Feni semakin melemah. 

Lutut Rendi terasa melemas. Matanya membelalak lebar. Ia tidak pernah bertemu atau sekadar bertegur sapa dengan Maya. Namun hanya dengan mendengar cerita kakaknya setiap saat, membuat Rendi ikut merasa kehilangan.

"Padahal usianya baru tiga belas tahun. Ah- kematian memang tidak pernah memandang umur ...." Feni menghela napas panjang, sebelum kemudian mematikan panggilan telepon karena ada pasien yang memanggilnya.

Rendi masih terdiam di tempatnya, termenung. 'Tiga belas tahun?'

Apa ini hanya kebetulan? Atau ... semuanya berhubungan satu sama lain?

___

Di pagi harinya, Maya bangun dengan semangat berapi-api. Gadis itu merapikan tempat tidurnya, lalu mandi dengan tergesa-gesa. Senyumnya tak pernah luntur bahkan saat sarapan, membuat para Adiwangsa menatap Maya dengan berkerut.

Maya masih seperti biasa— pendiam dan terlihat menghindari Garry dan Devon. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Wajahnya terlihat berseri dengan senyum kecil yang tampak menggemaskan.

Ada apa dengan remaja itu?

"Kak, boleh aku jalan-jalan ke luar?" pinta Maya setelah menyelesaikan sarapannya lebih cepat dari biasanya. Tatapannya tertuju pada Lexa dan Axel. Ia terlalu takut jika harus meminta izin pada Garry meski pria itulah sang kepala keluarga.

"Ke mana?" Alih-alih si kembar, justru Garry-lah yang menyahut.

Maya menoleh cepat ke arah Garry, menatap pria itu takut-takut. Tangannya bermain di atas pahanya, sebelum kemudian menjawab, "Ke taman bermain yang kita lewati kemarin."

"Kenapa tiba-tiba sekali?" tanya Garry lagi. Sikap ingin tahunya itu entah mengapa terasa hangat. 

"Itu ... aku ingin mencoba ayunannya," kata Maya berusaha mencari alasan.

Sontak saja, setiap Adiwangsa memandangnya penuh selidik. Tanpa bertanya, mereka tahu jika apa yang Maya katakan adalah kebohongan. Gadis itu sangat buruk dalam berbohong, tetapi tetap mencobanya seolah-olah kali ini kebohongannya akan bekerja.

Ah, bukankah 'bungsu' Adiwangsa ini begitu naif?

"Tentu. Axel dan Lexa akan menemanimu." Perkataan final dari Garry membuat Maya tanpa sadar menghela napas lega. Senyumnya mengembang tinggi, membuat Axel tidak tahan untuk menguleni pipinya.

"Be grateful—I wouldn’t do that if I weren’t your good big brother." Axel memberikan dengkusan kecil. Tangannya terangkat, mencubit gemas pipi Maya.

"Bagaimana denganku?" Devon menunjuk dirinya sendiri. Ada seringai kecil yang senantiasa terbentuk di bibirnya.

Maya spontan menggelengkan kepalanya. Dan begitu menyadari apa yang dilakukannya, tubuhnya seketika berubah kaku. Pupil matanya mengecil terkejut.

"A-aku- maaf." Maya berkata terbata-bata.

"Aww~ Little Mouse, you're so mean." Devon berpura-pura merajuk. Yang dilihat dari sisi mana pun, sangat tidak cocok dengan badan tegap berototnya.

Sudut bibir Lexa berkedut menahan jijik, sementara Axel sudah memperagakan gerakan muntah dengan wajah tak terkondisikan. Melihat tingkah anak-anaknya, Garry hanya bisa mengembuskan napas panjang.

___

Suara kicauan burung terdengar bersahutan dengan tawa anak-anak. Maya mengedarkan pandangannya, mencari satu sosok di antara banyaknya kepala. Sayangnya, hasilnya nihil.

"Tck! Kenapa banyak sekali anak-anak di sini?" Axel menarik Maya menuju salah satu ayunan yang kosong. 

Ah, lebih tepatnya dipaksa kosong dengan mengusir dua anak yang langsung berlari sambil menangis. Lexa hanya mengikuti dalam diam. Matanya menatap awas setiap pergerakan Maya yang mencurigakan.

Maya tersenyum canggung, menurut saja saat Axel membantunya duduk di ayunan. Padahal, perkara ayunan hanya alasannya saja agar bisa keluar dari rumah.

"Ready?" Mata Axel berkilat semangat. Tangannya sudah bersiap untuk mendorong ayunan.

Maya mengangguk kaku. Kenapa dia merasa membiarkan Axel yang mendorong ayunan adalah hal buruk?

"Satu, dua ..., tiga!" 

Kedua mata bulat itu seketika membelalak lebar saat merasakan tubuhnya melayang tinggi di udara. Maya berteriak dalam hati, mencengkeram pegangan ayunan seolah hidupnya bergantung pada tali rapuh tersebut.

"Axel!" Barulah ketika entah ayunan ke berapa, Lexa berhasil meraih tubuh Maya.

"Come on, no need to be- Maya ...?" Axel buru-buru menghampiri Maya yang terlihat linglung. Tubuhnya bergetar ringan, membuat Axel merasakan jantungnya dihantam palu tak kasat mata.

"Maya, maaf. Please forgive me," ucap Axel sambil menggenggam lembut kedua tangan yang berkeringat dingin itu.

Maya menoleh, memandang Axel lama, sebelum kemudian mengangguk. Ia tahu Axel tidak bermaksud melukainya dan hanya ingin bersenang-senang. Jadi bagi Maya, Axel sama sekali tak bersalah. Ia hanya merasa syok dan takut.

Namun, Lexa memilih pandangan berbeda. Remaja itu menatap Axel dengan tajam, membuat adik kembarnya menunduk dalam.

"How many times have I told you to be more gentle with Maya?" Tatapan membunuh Lexa tepat tertuju pada Axel.

"I'm sorry–"

"Kak Lexa," panggil Maya sambil menarik ringan lengan baju Lexa. Kedua mata itu memandang Lexa dengan memohon. "Aku baik-baik saja. Kak Axel hanya ingin aku bersenang-senang."

Mendengar pembelaan Maya, membuat Axel mengulum bibirnya. Ada binar haru di matanya yang seringkali hanya memancarkan tatapan tajam.

Lexa mendengkus kecil. Ia mengusap lembut puncak kepala Maya, sebelum kemudian kembali menatap Axel.

"See? Kau seharusnya senang Maya membelamu."

Axel mengangguk. Ia ingin ikut mengacak-acak rambut Maya, tetapi belum berani karena tatapan Lexa. Jadi, remaja itu segera berdiri dan berdeham sekali.

"Itu ... aku akan membeli minuman." Axel berjalan entah ke mana, meninggalkan Lexa yang kini tengah menuntun Maya agar duduk di salah satu bangku taman.

"Kau sungguh baik-baik saja?" tanya Lexa sembari mengusap keringat di kening Maya.

"Sungguh, Kak. Aku hanya kaget tadi." Maya tersenyum kecil, mencoba menenangkan Lexa yang amarahnya tampak belum juga reda. 

Maya kembali menatap sekeliling. Tatapannya tertuju pada penjual es krim yang tengah melayani beberapa pembeli. Dulu, ia akan mengantre bersama adiknya— Rafa.

Lexa mengikuti arah pandang Maya, mengira jika gadis itu menginginkan es krim. "Tunggu di sini sebentar."

"Eh? Kakak mau ke mana?" tanya Maya.

"Membeli es krim." Lexa menunjuk penjual yang tadi Maya lihat.

"Tapi–" Tanpa mendengar penjelasan Maya, Lexa sudah melenggang pergi menuju gerobak es krim yang tidak jauh dari sana.

Saat itulah, mata Maya tidak sengaja tertuju pada satu gang di dekat penjual es krim. Ada lima anak laki-laki yang terlihat mendorong seseorang.

Maya berdiri seketika. Gadis itu melihat ke arah Lexa yang masih sibuk mengantre, lalu berjalan setengah berlari menuju gang.

Sesampainya di pintu gang, matanya langsung membelalak marah begitu melihat beberapa anak yang tengah merundung anak lainnya. Tidak lain dan tidak bukan, anak yang tengah berusaha melindungi dirinya sendiri itu adalah Rafa, adik kecilnya yang baru berusia sepuluh tahun.

"HENTIKAN!"

___
Maaf bangetttt T_T
Beberapa hari ini kerjaan lagi numpuk2nya, jadi harus curi-curi waktu buat update :(
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
18 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS