0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 19 - Liburan (2)

""Coba ini." Lexa menyuapkan sesendok makanan ke mulut Maya. "Kau harus mencoba ini juga. Kau pasti belum pernah memakannya, 'kan?" Kali ini, giliran "

"Coba ini." Lexa menyuapkan sesendok makanan ke mulut Maya.

"Kau harus mencoba ini juga. Kau pasti belum pernah memakannya, 'kan?" Kali ini, giliran Axel-lah yang menyuapi Maya dengan makanan favoritnya.

Seolah tak mau kalah, Devon dan Garry pun ikut menyodorkan sendok mereka. Maya yang tidak enak untuk menolak hanya bisa mengunyah semua makanan itu hingga pipinya terlihat mengembung seperti tupai.

"Little Mouse, lihatlah ke sini." Mendengar itu, Maya yang masih sibuk mengunyah seketika menoleh ke sumber suara.

Cekrek! Mata Maya membola terkejut. 

Devon sama sekali tidak menyia-nyiakan momen tersebut dan mengambil foto untuk kedua kalinya. Maya meringis malu. Gadis itu cepat-cepat menunduk untuk menyembunyikan wajahnya.

"Aww, look at those cute rosy cheeks." Devon memainkan pipi Maya dengan gemas. Pria itu terkekeh kecil, tampak senang melihat Maya yang merona malu.

Axel mendengkus dongkol. Ia menepis tangan Devon menjauh, lalu mengusap-usap pipi Maya sebagai gantinya. "Keep your dirty hand off her."

"Kau menyebut tanganku apa? Kotor?" Devon menaikkan satu alisnya. Tangannya terlipat di depan dada, memandang Axel dengan tatapan mengejek yang seolah mengatakan 'bukankah justru tanganmu yang kotor?'.

"You two, stop arguing. Perjalanan kita masih panjang," ucap Garry sebelum Axel sempat menyambar umpan yang Devon lemparkan. Jika dibiarkan, Garry yakin keduanya akan terlibat pertikaian. Sementara di sisi lain, mereka masih harus melanjutkan perjalanan setelah sarapan selesai.

Devon hanya menarik seringainya, sementara Axel tampak mati-matian menahan dirinya agar tidak melanggar perintah sang ayah. Ketika ketiga pria dengan usia berbeda itu saling melemparkan pandangan tajam, Lexa justru tengah memonopoli Maya untuk dirinya sendiri.

Beruntung, kondisi tersebut tidak bertahan lama. Sarapan telah usai, dan kini mereka sudah kembali ke dalam mobil. Perjalanan untuk ke rumah kakek 'Raya' dilanjutkan. 

Maya menoleh ke jendela, menatap jalanan yang perlahan-lahan mulai terasa familier. Maya bisa mengenali rumah sakit tempat dirinya menjalani perawatan setiap minggunya, lalu taman bermain yang sering dikunjunginya bersama sang adik. 

Ia kini benar-benar sudah berada di kota Y. Dan Maya ... tidak sabar untuk mencari cara agar bisa bertemu dengan keluarga kecilnya.

"Akhirnya kita sampai juga." Axel keluar dari mobil sambil merenggangkan tubuhnya, lalu disusul dengan Lexa yang menuntun Maya keluar.

Maya mendongak, diam-diam memperhatikan bangunan megah di depannya. Mengapa ia merasa pernah melihat rumah tersebut? Padahal, Maya jelas-jelas belum pernah menginjakkan kakinya di perumahan mewah ini.

"Ada apa?" tanya Lexa saat melihat Maya yang terlihat termenung.

Maya hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. Remaja itu sama sekali tidak menyadari jika tatapan Lexa berubah selama beberapa detik. 

"Ayo masuk." Lexa menggenggam lembut tangan Maya, menariknya mengikuti Garry dan Devon yang sudah masuk lebih dulu.

Begitu berada di dalam, Maya mendapati dirinya dikelilingi interior mewah. Lampu kristal tergantung di tengah-tengah ruang tamu, membuatnya merasa ngeri jika benda itu terjatuh. Vas-vas terlihat menjulang tinggi, menyajikan berbagai bunga dengan aroma lembut yang menggelitik hidungnya.

Lagi-lagi, perasaan aneh menghantamnya. Mengapa Maya merasa akrab dengan rumah ini?

Maya mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang menghuni rumah. Namun, tak ada satu pun orang yang menampakkan diri. Seakan-akan, rumah ini tidak berpenghuni.

"Kakek sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Jadi, rumah ini kosong," kata Axel seolah mengetahui apa yang Maya pikirkan.

Mata Maya membulat penuh. Jadi, apakah tujuan dari liburan ini adalah untuk mengenang kakek mereka? Namun entah bagaimana, Maya merasa seperti melewatkan sesuatu.

"Ayo, aku akan mengantarmu ke kamar. Because you look like you’re about to collapse with that weak body of yours." Axel merangkul bahu Maya, membawa gadis itu menaiki tangga. Maya hanya tersenyum kecil, sudah terbiasa dengan perhatian dan kalimat pedas Axel.
 
Begitu Axel dan Maya sudah tak terlihat lagi, atmosfer di antara para Adiwangsa itu seketika berubah. Garry mendudukkan dirinya di sofa, sementara Devon memilih tetap berdiri ketika Lexa merogoh tasnya.

Gadis itu mengutak-atik ponselnya sebentar. Detik berikutnya, terdengar rekaman suara yang membuat kening Garry mengerut dalam. Tatapannya menajam dengan tangan yang terkepal erat.

"Apa kalian belum melakukan tindakan apa pun pada gadis sia-lan itu?" tanya Devon sambil mengetukkan ujung sepatunya ke lantai dengan tak sabar.

"Not yet." Lexa menggelengkan kepalanya. Ada beberapa pertimbangan yang membuatnya dan Axel belum melakukan apa pun untuk membalas perbuatan Sky.

Pertama, remaja itu adalah putri dari menteri yang berpengaruh. Berurusan dengan orang dari pemerintahan bisa menjadi sangat merepotkan. Mereka pandai bersilat lidah demi menarik simpati publik.

Kedua, yang juga merupakan alasan terakhir, Lexa ingin menunjukkan pada Maya betapa berbahayanya dunia luar. Dengan begitu, Maya akan sepenuhnya bergantung pada keluarga Adiwangsa secara perlahan.

"Kalau begitu, aku yang akan mengurusnya." Garry berdiri, lalu melangkah pergi tanpa kata apa pun lagi.

Lexa dan Devon saling berpandangan. Jika Garry sudah bertindak, tidak ada hal baik yang akan terjadi. Mereka tahu betul tabiat sang ayah.

___

"Ini kamarmu untuk tiga hari ke depan." Axel membuka pintu lebar-lebar, menginstruksikan Maya agar Maya masuk.

Maya diam-diam mencatat dalam hati— tiga hari. Artinya, dia memiliki waktu tiga hari untuk bertemu dengan ibu dan adiknya. 

"Apa kau suka kamarnya?" tanya Axel sambil mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Setelah mendapat anggukan dari Maya, pemuda itu lantas menepuk sisi kosong di sampingnya, mengisyaratkan Maya untuk duduk di sana.

Maya menurut, duduk di samping Axel tanpa bantahan sedikit pun. Sudut bibir Axel tertarik ke atas. Inilah mengapa ia menyukai Maya. 'Adiknya' ini begitu penurut dan tidak banyak bertanya.

"Dulu, saat kakek masih hidup, kami sering berlibur ke mari." Axel menatap ke langit-langit ruangan.

"Ada kolam renang di halaman belakang. Setiap saat, kami bermain di sana." Pandangan Axel turun, menatap Maya lamat-lamat.

"Apa kau suka berenang, Maya?"

Maya memiringkan kepalanya. "Berenang?"

Selama hidupnya, Maya bahkan tidak pernah berlatih berenang. Gadis itu hendak menggeleng. Namun tiba-tiba, sesuatu seperti melesat cepat di kepalanya.

"Lihat? Berenang itu mudah!" 

"Kakak, Maya bisa mengapung!"

"Wah, kau sudah tak membutuhkan pelampung lagi."

Apa itu tadi? 

Sekilas, Maya seperti bisa melihat dirinya berenang dengan lincah. Benar-benar tanpa beban, seolah ia memiliki tubuh yang sehat. Sama-samar, Maya juga bisa mendengar beberapa suara yang bersorak menyemangatinya.

"Hey, you okay?" Axel mengguncang ringan tubuh Maya, membuat gadis itu seketika tersadar dari lamunannya.

"Aku- aku baik-baik saja," kata Maya lirih.

Axel menangkup wajah Maya. Matanya menatap Maya dengan pandangan penuh selidik. "Apa ini tentang kemarin? Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Berhenti mencoba menyembunyikannya pada kami. Apa gadis psiko itu yang membuatmu seperti ini? Iya, 'kan? Sudah pasti dia!" Axel memandang Maya dengan tajam. Remaja itu bertindak dengan begitu halus, seolah-olah ia belum mengetahui apa yang terjadi.

Maya menggeleng cepat. "Tidak, ini bukan Sky."

"Then … tell me what’s really bothering you." Tatapan tajam Axel membuat Maya kesulitan untuk menelan salivanya.

"Aku hanya ... merasa aneh," ucap Maya tidak yakin.

"Aneh?" Axel melepaskan wajah Maya. Meski demikian, matanya tetap tidak lepas dari setiap gerak-gerik yang Maya buat.

Maya mengangguk kaku. "Aku mengingat sesuatu yang aneh. Seperti- umm ... seperti halusinasi?"

Satu-satunya yang dapat Maya pikirkan adalah jika ia sudah mulai gila. Namun, Axel berpikir sebaliknya. Sudut bibirnya membentuk senyum kemenangan.

Inilah tujuannya membawa Maya ke rumah ini. Selain memang untuk membantu gadis itu lebih rileks setelah insiden di rumah Sky, Axel ingin Maya mengingat sesuatu yang terjadi delapan tahun lalu.

"Halusinasi? No, Maya, I don't think so. What if … those were actually your memories?" Axel dengan sengaja memancing Raya. Ia ingin gadis itu mencoba menggali ingatannya lebih dalam. Karena barangkali ... Maya bisa mengingat meski hanya sepotong dua potong.

Maya mengedipkan matanya beberapa kali— bingung. Ingatan? Apa yang sebenarnya Axel maksud?

___

"Cari tahu tentang seorang gadis berusia tiga belas tahun yang bernama Maya," kata Garry kepada Rendi melalui sambungan telepon. Ia membutuhkan informasi tentang siapa Maya sebenarnya. Di mana gadis itu tinggal, siapa keluarganya, dan bagaimana keadaannya sekarang

Garry ... ingin memastikan agar Maya tidak bisa kembali ke tubuh aslinya.

"Hanya Maya, Tuan? Siapa nama lengkapnya?" Rendi mengucek matanya yang masih setengah tertutup. Bukankah bosnya itu sedang berlibur? Kenapa masih sempat memberinya pekerjaan?

"Hanya Maya."

Rendi ternganga. "Tapi Tuan, ada ratusan bahkan ribuan orang dengan nama tersebut. Setidaknya berikan alamat yang pasti–"

"Aku tidak peduli. Kirim hasilnya dalam tiga hari."

Tutt ... tutt ....

Sambungan telepon dimatikan secara sepihak. Rendi mengumpat. Semakin lama, pekerjaan yang Garry berikan semakin tidak masuk akal saja.

Ah, tunggu, kenapa nama itu terdengar familier? 

"Anak itu kasihan sekali. Tubuhnya kurus kering."

"Maya benar-benar gadis kecil paling menggemaskan yang pernah kutemui."

"Rendi ... keadaan Maya semakin memburuk. Aku tidak bisa menatap matanya."

Benar. Rendi sering mendengar nama tersebut dari kakak perempuannya yang tinggal di kota Y. Kakak perempuannya itu bekerja sebagai salah satu perawat di rumah sakit yang ada di sana.

Dan sejak beberapa minggu ini, Rendi baru teringat jika kakaknya tidak pernah lagi menceritakan tentang Maya. Rasa khawatir tiba-tiba terbesit di hatinya. Gadis itu ... bagaimana keadaannya?

| Feni, bagaimana keadaan pasien yang sering kau ceritakan itu?

___

Bab yang cukup panjang sebagai permintaan maaf karena ngilang beberapa hari ini. Tolong maafkan Ao T_T​
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
25 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS