[BYT] Bab 18 - Liburan (1)
""Y-ya, eh- maksudku hampir," jawab Maya dari dalam kamar. Suara kecil yang terdengar gugup itu membuat Devon menahan senyum. Tanpa bertanya lagi, dia"
"Y-ya, eh- maksudku hampir," jawab Maya dari dalam kamar.
Suara kecil yang terdengar gugup itu membuat Devon menahan senyum. Tanpa bertanya lagi, dia membuka pintu yang tidak terkunci. Seperti dugaannya, gadis itu belum tertidur. Dan tentunya, sama sekali belum bersiap untuk tidur.
Ah ... adik kecilnya memang sangat buruk dalam berbohong.
"My bad. Aku pasti mengganggu waktumu." Devon berjalan mendekati Maya yang terduduk kaku di tepi ranjang.
Ingin sekali gadis itu berteriak jika Devon memang mengganggunya. Sayangnya, Maya tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakan sesuatu yang mungkin saja akan memicu kemarahan Devon.
"Ada apa, Kak?" tanya Maya cepat. Ia ingin sulung Adiwangsa itu segera pergi sehingga ia bisa memeriksa buku Raya yang lain.
Devon menaikkan satu alisnya. Seringai jahil bermain di bibirnya. "What’s with that face? Do you want me to leave that badly?"
Mata Maya spontan membola. Sikapnya yang persis seperti tikus yang ketahuan mencuri keju itu membuat Devon mati-matian menahan tawa.
"A-aku tidak- aku sungguh tidak bermaksud seperti itu," jelas Maya gelagapan.
"You sure about that?" tanya Devon lagi. Ia mendekatkan wajahnya, meneliti setiap ekspresi yang Maya buat bagai membaca buku yang terbuka.
Tikus kecilnya sangat mudah dibaca. Dan bagi Devon ..., 'Raya' yang seperti ini terlihat begitu menggemaskan.
"Y-ya." Maya mengangguk, mencoba bersikap lebih menyakinkan dengan memberikan senyuman kaku.
Devon menyemburkan tawanya. 'God, she's driving me crazy.'
"Baiklah, aku akan mencoba percaya." Devon menepuk lembut pipi Maya beberapa kali, membuat gadis itu bingung sekaligus waspada. Pria ini ... tidak akan tiba-tiba menampar pipinya, 'kan?
Menunduk, Devon lagi-lagi tidak bisa menahan senyumnya saat melihat ekspresi Maya. "Apa yang kau pikirkan sampai membuat ekspresi se-menggemaskan ini?"
Alih-alih menjawab, Maya hanya memberikan senyuman canggung. Tak puas, Devon lantas menangkup wajah gadis itu. Matanya yang sewarna samudera meneliti wajah 'adik bungsunya' dengan lamat-lamat.
"I wonder what your real face looks like. I bet it’s even cuter," kata Devon sambil menatap tepat ke mata cokelat 'Raya' yang membelalak. Maya benar-benar tidak menyangka Devon akan menanyakan hal tersebut.
Daripada wajah aslinya, tidakkah pria itu lebih penasaran tentang keberadaan jiwa Raya yang asli?
"Ah, lupakan saja." Devon menegakkan badannya. "Aku ke sini hanya untuk mengatakan, jika kau tidak perlu pergi ke sekolah besok."
Maya mengerutkan keningnya. "Kenapa?"
Jika tidak pergi ke sekolah meski hanya sehari saja, bukankah ia akan semakin tertinggal? Maya tidak ingin dipermalukan lagi.
"Kau sungguh menanyakan itu?" Alis Devon terangkat tinggi, menatap Maya tak percaya.
Maya mengangguk sekali. Wajah seriusnya yang tampak begitu penasaran itu membuat Devon merasa terhibur. "Kita akan pergi berlibur."
Mendengar itu, wajah Maya seketika berubah cerah. Tanpa sadar, senyumnya mengembang lebar.
"Liburan? Ke mana?" tanyanya beruntun dengan semangat. Padahal, beberapa detik yang lalu gadis itu sibuk mengkhawatirkan pelajarannya.
Devon menarik seringai kecil. "It's a secret. Sekarang tidurlah, karena kita akan berangkat pagi-pagi sekali."
Seolah tersihir, Maya mengangguk beberapa kali. Remaja itu sepenuhnya melupakan tentang buku milik Raya yang belum sempat dibukanya.
___
Keesokan paginya, sebelum matahari terbit, dua pelayan sudah berjalan mondar-mandir di kamar Maya. Mereka sibuk memasukkan pakaian gadis itu ke dalam koper.
Maya sendiri sudah dipaksa bangun sejak tadi. Ia bahkan sudah segar karena berendam air hangat. Satu hal yang membuatnya penasaran, liburan ini dalam rangka apa?
Sepuluh menit kemudian, Maya sudah siap dengan jaket tebal yang membungkus tubuhnya. Saat akan menuruni anak tangga, seseorang tiba-tiba menahan tangannya.
Maya mendongak karena kaget. Namun, rasa terkejutnya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan saat ia mengetahui siapa yang menahan tangannya.
"Apa?" Garry menggenggam tangannya, lalu menuntun Maya menuruni tangga.
"Bukan apa-apa," balas Maya lirih.
Mungkin karena merasa langkah Maya terlalu lambat, Garry akhirnya mengangkat gadis itu dan menggendongnya— menentengnya— seperti yang terakhir kali.
Maya hanya bisa menggigit pipi bagian dalamnya, takut terjatuh jika bergerak sedikit saja. Garry menunduk sebentar, menatap pergelangan tangannya yang melingkar di perut sang putri.
'Aku harus memberinya lebih banyak makan,' ucap Garry dalam hati.
Sesampainya di lantai bawah, Devon serta si kembar ternyata sudah ada di sana. Adiwangsa bersaudara itu memandang sang ayah dengan permusuhan. Yang paling ekspresif tentu saja Axel.
Remaja itu sampai mengambil alih tubuh Maya dari tangan Devon dan memeluknya erat dari samping. "Ayah jangan sering-sering menggendong Maya. Nanti punggung Ayah sakit."
Maya menoleh pada Axel dengan mata melotot kecil. "Apa?!" sentak Axel yang langsung membuat Maya mengalihkan pandang ke arah lain.
Apa-apaan pemuda itu? Apa ia gendut? Maya menatap perutnya. Ia memang tidak pernah berolahraga sejak menempati tubuh Raya. Pasti Raya akan memarahinya saat tahu badannya melebar seperti ini.
"Jangan pikirkan perkataan Axel," ucap Lexa sambil mengusap-usap puncak kepalanya seperti biasa.
Maya mengangguk, menatap Lexa dengan mata yang bersinar penuh semangat. "Kak, kita akan pergi ke mana?"
"I already told you, that's a secret, duh!" timpal Devon yang tidak Maya pedulikan. Gadis itu masih menunggu jawaban dari Lexa.
"Ke rumah kakek," jawab Lexa dengan nada datar.
Mendengar itu, Maya lantas mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apa jauh, Kak?" Pasalnya, mereka sampai bersiap-siap sepagi ini.
"Di kota Y." Jawaban tersebut membuat Maya membelalakkan matanya. Ia tidak salah dengar, 'kan? Mereka akan berlibur ke kota Y, kota di mana ibu dan adiknya tinggal.
___
Baru seperempat jalan, mobil yang diisi anggota keluarga Adiwangsa dengan Garry yang menyetir itu berhenti di sebuah restoran mewah untuk sarapan terlebih dahulu.
Maya melihat ke jendela dengan penasaran. Sepanjang hidupnya, ia belum pernah makan di restoran semewah ini.
"Ayo turun," ajak Axel sambil menggandeng tangannya dengan protektif.
Sementara Axel dan Lexa berjalan bersama Maya yang berada di tengah, Garry serta Devon berjalan di belakang. Kedua pria dewasa berbeda generasi itu memandang ketiganya dengan tatapan penuh arti.
"Looks like our Maya’s really back, huh?" Devon terkekeh, melirik sang ayah yang menatap 'anak bungsunya' dengan dalam.
Garry tidak memberikan respons apa pun. Namun Devon tahu, jika kali ini, Garry tidak akan membiarkan keluarga Adiwangsa kehilangan sosok itu lagi.
Maya hanya hadir selama tiga hari. Namun di setiap detiknya, gadis kecil itu berhasil memenangkan hati semua orang. Dan saat Maya tiba-tiba pergi dan kali ini datang tanpa aba-aba, mereka tidak akan membiarkan remaja itu menghilang untuk kedua kalinya.

seruuuuu sekalii sayaaa sangattt menantiii ini, kak jangan lama lama yaa
BalasHapusDoakan diterima AdSense, ya, Sayyy, biar makin semangat nulisnya (。>‿‿<。 )
HapusSemangat kak
BalasHapusAwww, makasih semangatnya ≧﹏≦
HapusLanjut kak
BalasHapusDitunggu, ya ~
Hapusseru bangett, jadi penasaran sama bukunya
BalasHapusAyooo, main tebak-tebakan~
HapusPWISS UP
BalasHapusDitunggu, ya~
Hapusplis ka up donggg
BalasHapusSudah, Sayy. Maaf ngilang lama T_T
HapusKak semangat buat update ceritanya, aku suka-!!♡🌷🌷🌷
BalasHapusSudah up, Kak (*∩ω∩)
Hapus