0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 17 - Rahasia Raya

"Maya menggeleng lemah. Gadis itu masih terlalu syok untuk menjelaskan apa yang terjadi di rumah Sky. "Apa ... akan ada tamu, Kak?" tanya Maya mencoba"

Maya menggeleng lemah. Gadis itu masih terlalu syok untuk menjelaskan apa yang terjadi di rumah Sky.

"Apa ... akan ada tamu, Kak?" tanya Maya mencoba mengalihkan pembicaraan. Matanya memandang para pekerja yang sibuk berkeliaran dengan kain pel.

Pupil mata Axel membulat sesaat, sebelum kemudian dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya. "Tadi ada pelayan yang menumpahkan minuman."

"So, tell me— what happened? Kenapa kau pulang tiba-tiba? Siapa yang mengantarmu? Lalu di mana tasmu?" tanya Axel beruntun. Remaja itu menghampiri Maya yang berdiri kaku di tempatnya.

"A-aku- aku dari rumah Sky–"

"Aku tahu kau dari rumah gadis sia-lan itu. Apa dia melakukan sesuatu? Apa dia menyakitimu?" Tatapan Axel kemudian tertuju pada tangan Maya. Ada bekas kemerahan di sana.

"She did this, didn't she?" tanya Axel sambil meraih tangan Maya. Mata tajamnya membuat Maya tak berkutik.

Mengetahui jika percuma untuk berbohong, Maya akhirnya mengangguk pelan. Ia mencoba menarik tangannya, tetapi Axel tidak membiarkan hal tersebut terjadi.

"Kita perlu mengompresnya." 

Dengan lembut, Axel menuntun Maya menuju dapur. Sesampainya di sana, ternyata dapur tidak dalam keadaan kosong— ada Lexa yang sedang berbicara dengan pelayan. Keningnya mengerut sesaat ketika melihat keberadaan Maya. Gadis itu tidak seharusnya pulang hari ini. 

"Maya?" Lexa berjalan mendekat. Rahangnya mengeras begitu menyadari penampilan Maya yang berantakan. 

Sesuatu jelas telah terjadi. 

Lexa menangkup wajah Maya. Mata yang biasanya memandangnya datar itu kini terlihat memancarkan kekhawatiran. 

"Kau tidak baik-baik saja." Tanpa bertanya, Lexa langsung mengetahui jika kondisi Maya jauh dari kata baik. Terbukti dari sudut matanya yang memerah, serta tubuhnya yang bergetar halus. 'Adik bungsunya' itu bahkan tak memakai alas kaki.

"Siapkan kain bersih dan es batu," perintah Axel pada seorang pelayan. Tanpa menunggu lama, kedua benda itu sudah tersedia di atas meja.

Maya menunduk, menatap jari kakinya dengan gugup. Lexa menghela napas. Ia kemudian mendudukkan Maya di salah satu kursi dan mulai mengompres tangan gadis tersebut.

"Sakit?" Pertanyaan Lexa mendapat gelengan pelan dari Maya. 

"Good girl. Kami tidak suka adik yang suka mengeluh." Axel mengacak-acak rambut Maya dengan gemas.

"Kau tahu kami siap menjadi pendengar kapan saja, 'kan? Untuk sekarang, beristirahatlah," ucap Lexa setelah selesai mengompres tangan Maya. Remaja itu kemudian membantu Maya berdiri dengan hati-hati.

Di sinilah Maya sekarang, sendirian di kamar Raya yang mulai terasa akrab. Maya benci perasaan ini. Ia tak ingin terbiasa— ia ingin tetap merasa asing. Karena bagaimanapun juga, kehidupan ini bukanlah miliknya.

Maya tetap ingin kembali ke kehidupan lamanya, bersama dengan ibu dan adiknya. Namun semakin lama Maya di sini, semakin pupus pula harapannya.

Ia merasa tidak memiliki jalan keluar. Tidak ada sedikit pun petunjuk tentang bagaimana dan apa yang menbuat jiwanya berada di tubuh Raya.

Maya bahkan tidak pernah mengenal keluarga Adiwangsa sebelumnya.

"Aww, kau menggemaskan sekali!"

"Kakak, berhenti menjahili adikku!"

"Adik kita, Axel."

Sekelebat ingatan yang datang tiba-tiba itu membuat Maya terhuyung dan hampir terjatuh. Dengan kepala yang berdenyut nyeri, Maya mendudukkan dirinya di tepi ranjang.

'Apa itu tadi ...?' Maya memijat pelipisnya, berusaha meredakan rasa sakit yang menyerang kepalanya.

Saat itulah, Maya teringat dengan kunci milik Raya yang diambilnya dari rumah Sky. Maya merogoh saku celana pendeknya, lalu mengamati bentuk kunci itu lamat-lamat.

Dengan harap-harap cemas, gadis itu berjongkok di depan laci yang terkunci. Kepalanya yang masih terasa pusing tidak ia pedulikan. Maya dengan cepat memasukkan kunci tersebut ke lubang kunci, kemudian memutarnya ke kanan.

Tidak berhasil. Mengulum bibirnya yang terasa kering, Maya lantas mengubah arah putaran ke kanan. 

Klik!

Suara 'klik' pelan itu membuat Maya membulatkan matanya. Dengan tangan yang bergetar ringan karena semangat yang berlebihan, Maya menarik laci tersebut agar terbuka.

Dua buku dengan sampul yang berbeda langsung terlihat. Buku pertama memiliki sampul berwarna merah muda dengan ilustrasi yang khas dengan anak-anak. Di sisi lain, buku kedua mempunyai sampul yang lebih sederhana— garis hitam dan putih yang saling membelit satu sama lain seperti ular.

Maya menggigit pipi bagian dalamnya, agak ragu untuk menyentuh kedua buku tersebut.

"Raya ..., aku izin lihat-lihat, ya?" ucap Maya tanpa bisa menyembunyikan rasa gugupnya.

Dengan napas yang tertahan, Maya meraih buku bersampul merah muda terlebih dahulu. Ujung jarinya menyentuh permukaan yang terasa sedikit berdebu. 

Ketika ia membuka halaman pertama, aroma kertas lama langsung menusuk hidungnya. Ini adalah ... buku harian Raya saat gadis itu masih berusia tujuh tahun. Tulisannya terlihat berantakan dan sulit dipahami. Namun untungnya, masih cukup bisa dipahami.

___

"Kakak, aku ingin bermain juga! Boleh, ya, please?" rengek Raya kecil sambil menggoyang-goyangkan lengan Lexa.

Axel berdecak kesal, sementara Lexa terlalu sibuk dengan permainannya dan sepenuhnya mengabaikan Raya. Gadis kecil itu menampilkan selengkung cemberut. 

Namun alih-alih menyerah, Raya justru dengan keras kepala mencoba mengikuti permainan. Sayang sekali, yang didapatnya justru bentakan dari Axel dan ketidakpedulian Lexa.

Raya masih tidak menyerah. Setiap hari, setiap saat, ia selalu berusaha mendekatkan diri dengan saudara-saudaranya. Ibunya selalu mengatakan padanya jika ia harus berteman baik dengan ketiga Adiwangsa. 

Akan tetapi, perlahan, Raya mulai merasa lelah. Ia merasa apa yang dilakukannya sia-sia. Bocah kecil itu ingin menyerah, tetapi ibunya justru memarahinya dan mengancam akan mengusirnya ke jalanan.

Raya yang sedih akhirnya memilih berjalan-jalan di koridor. Hingga secara tidak sengaja, matanya menemukan sesuatu yang berkilauan dari gudang barang yang pintunya sedikit terbuka.

Rasa penasarannya membuat Raya nekat untuk masuk. Di sanalah, di samping manik-manik, ia menemukan sebuah buku yang terlihat menarik di matanya. 

Buku itu tidak indah, lucu, atau memiliki sesuatu yang spesial. Bahkan ... buku itu kosong. Sama sekali tidak ada tulisan apa pun di sana. Namun entah bagaimana, Raya merasa tertarik. Diam-diam, Raya membawa buku itu ke kamarnya. 

Sejak saat itu, Raya selalu menumpahkan keinginnya di buku tersebut. Ia ingin memiliki keluarga yang menyayanginya, yang mencintainya dengan tulus.

___

22 Oktober 2016
Aku suka bukunya. Aku jadi mimpi indah terus. Ada ayah dan ibu baru. 

Itu adalah tulisan terakhir di buku merah muda tersebut. Tahun 2016, yang artinya, delapan tahun yang lalu karena sekarang adalah tahun 2024.

Atensi Maya kemudian berpindah ke buku misterius yang menurut Raya, bisa mengabulkan keinginannya lewat mimpi. Maya tidak ingin percaya. Namun dengan fakta jika jiwanya berpindah ke raga lain, sepertinya hal-hal yang tak masuk akal memang bisa saja terjadi.

Namun sebelum Maya sempat membuka buku tersebut, suara ketukan pintu terdengar. Ia cepat-cepat mengembalikan kedua buku milik Raya ke dalam laci dan menguncinya.

"Are you sleeping already, Little Mouse?" 

Suara itu membuat Maya terdiam kaku. Sungguh, Maya benar-benar tidak ingin berinteraksi atau bertemu dengan pria menyeramkan itu.​

***

Lagi-lagi bab yang pendek T_T
Oh, ya, siapa tokoh favorit kalian sejauh ini? 
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
16 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS