0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 16 - "Let's Die Together!"

""Aku akan mengganti pakaianku lebih dulu. Setelah itu baru giliranmu, okay?" Sky mengedipkan sebelah matanya, lalu berlalu menuju kamar mandi yang let"

"Aku akan mengganti pakaianku lebih dulu. Setelah itu baru giliranmu, okay?" Sky mengedipkan sebelah matanya, lalu berlalu menuju kamar mandi yang letaknya masih berada di dalam kamar.

Melihat Sky yang sudah menutup pintu, Maya dengan cepat mengambil kunci di atas kotak sepatu dan memasukkannya ke saku celana pendeknya yang tersembunyi di balik rok sekolah. Ia menelan ludah. Ini ... tidak termaksud pencurian, 'kan?

Sekitar dua puluh menit kemudian, kedua gadis itu akhirnya sudah memakai pakaian santai. Maya melipat seragam sekolahnya, lalu menyimpannya di ransel. 

"Ayo, aku akan mengajakmu berkeliling. Kau pasti tidak ingat rute-rute di rumah ini, 'kan?" Sky kembali menggandeng tangan Maya, setengah menarik gadis itu menyusuri koridor.

Sky bersenandung pelan, tampak menikmati kehadiran 'Raya' yang sudah lama tidak menginap di rumahnya. Bagaimanapun juga, Raya adalah teman terdekatnya selain Radit.

Ah, Sky jadi merindukan remaja laki-laki itu. Mereka sudah lama tidak bertemu. Karena dari awal, yang membuatnya berteman dengan Radit adalah Raya. Dan sekarang, Raya justru melupakan segalanya.

"Oh, that's my mom, Ray." Dari jendela lantai tiga, Sky menunjuk seorang wanita yang sedang merajut di bangku taman.

Mata Maya terlihat sedikit membulat. Bukankah ini tidak sopan? Ia bahkan belum menyapa sang nyonya rumah. Maya benar-benar melupakannya karena lebih dulu tersihir dengan keindahan rumah Sky.

"Sky, sepertinya kita harus menyapa ibumu–"

"Tidak perlu," potong Sky cepat. 

Maya langsung bungkam. Nada bicara Sky yang terdengar lebih tinggi dari biasanya membuat gadis itu bertanya-tanya. Kenapa Sky tampak begitu defensif?

"Ibuku tidak akan peduli. She’s insane, and she won’t even remember you."

Kalimat terakhir yang Sky ucapkan membuat Maya mengerutkan keningnya. "Maksudnya ...?"

Ini tidak seperti yang ia pikirkan, 'kan?

"Yes, Ray. That's what you think. Ibuku menjadi gila sejak mengetahui tentang perselingkuhan ayah dengan rekan kerjanya." Cara bicara Sky terdengar lebih tajam dari tadi, dan Maya memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut.

Ia menggenggam tangan Sky, berusaha menguatkan gadis tersebut. Sky menggenggam balik tangan Maya. Awalnya semua terasa normal. Hingga perlahan, genggaman tangan Sky menguat.

"Sky, sa–"

"Lihatlah ke bawah, Ray. Do you think we’d die if we jumped?" tanya Sky dengan senyum kecil di wajahnya. Sayangnya, senyum itu terlalu dingin untuk dikatakan sebagai candaan semata.

Maya menggelengkan kepalanya dengan panik saat Sky memaksanya menunduk ke bawah. Tiba-tiba, seolah mengetahui ada yang menatapnya, ibu Sky mengalihkan pandangannya dari benang rajut— mendongak memandangnya. Ada seringai menyeramkan di sana, yang membuat ketakutan Maya menjadi berkali-kali lipat.

"S-Sky, stop playing around." Maya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tangan Sky. Akan tetapi, gadis itu justru menguatkan cengkeramannya, membuat Raya tidak bisa menahan ringisan sakitnya.

"I’m not joking. Do you see my mommy? Look— she’s smiling at us. She’d be even happier if we went down to meet her … right?" Cara Sky menatapnya benar-benar membuat sekujur tubuh Maya merinding. 

"Ka-kalau begitu ayo turun." Maya ingin secepatnya menjauh dari jendela ini. Bohong jika dia tidak takut. Maya ... kini ketakutan setengah mati.

Padahal dulu, saat ia baru pertama kali menempati tubuh Raya, Maya hampir saja menjatuhkan dirinya dari jendela. Namun sekarang, membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri.

Sebelum Maya sempat menarik Sky, gadis dengan warna rambut yang tak biasa itu lebih dulu mengeratnya cengkeramannya. "Turun ke mana? Bukankah ada akses yang lebih cepat di sini, Ray?"

Sky memandang Maya dari dekat. Matanya bersinar penuh kegilaan. "Kita tinggal melompat ke bawah. And woosh ... we'll be there."

Gadis itu ... faktanya terlihat jauh lebih gila daripadanya ibunya.

"Kau gila!" Maya menggerakkan tangannya yang berada di genggaman Sky dengan frustrasi. Ia ingin lari sejauh-jauhnya sekarang. Namun lagi-lagi, tenaganya tidak ada apa-apanya dibandingkan Sky yang kini tertawa dengan cara yang tak wajar.

"It's not just me, Ray. Ah, what a shame ... you don't remember our friendship. Semua ini adalah idemu. Aku hanya berusaha merealisasikannya. Am I wrong?" Sky kembali tertawa. Kali ini, tawa itu bahkan terdengar lebih keras, lebih menggema, dan lebih menakutkan.

Maya menjadi semakin panik saat Sky mendekatkan tubuhnya hingga kini, punggungnya menabrak pembatas balkon. "T-that’s not relevant anymore! I’m not Raya!"

"Huh? What are you talking about?" Kedua alis Sky menukik tajam. Cengkeramannya tangannya sedikit mengendur karena terkejut. 

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Maya mengentakkan tangannya dengan kuat, lalu menginjak kaki Sky. Tanpa berpikir dua kali, gadis itu menggerakkan kakinya— berlari di koridor yang penuh dengan lukisan.

Lukisan-lukisan itu seakan tengah menatapnya, mengejeknya yang terlihat begitu frustrasi dan ketakutan. Suara derap langkah terdengar dari belakang. Tanpa menatap ke belakang, Maya tahu Sky sedang mengejarnya.

"I don't care if you're Raya or someone else! Come on, let's die together!" Teriakan Sky diiringi dengan tawa yang memantul ke dinding. Maya bisa merasakan jantungnya bertalu kuat.

Sky tidak pernah bercanda. Sejak awal ... dia selalu serius ketika mengatakan ingin ma-ti bersama 'Raya'.

Saat Maya merasakan kakinya mulai mengkhianatinya, akhirnya ada seseorang yang mungkin dapat ia mintai tolong. Remaja laki-laki itu, Radit, terlihat membelalakkan matanya ketika melihat Sky yang sedang mengejar Maya sambil tertawa seperti seorang dengan gangguan jiwa.

Sore ini, ia memang sengaja ke rumah Sky karena gadis itu berkata akan mengajak 'Raya' juga. Namun, bukan keadaan seperti inilah yang Radit harapkan.

Tanpa bertanya lebih lanjut, Radit meraih pergelangan tangan Maya dan membantu gadis itu keluar dari rumah Sky. Sesampainya di luar, ia dengan cepat membantu Maya naik ke motornya. Ia berusaha menyalakan motornya, ketika teriakan Sky terdengar dari kejauhan 

"Raya! Where do you think you’re going?! Come here!" Suaranya serak, sarat akan amarah.

Radit dan Maya menoleh panik. Jarak mereka dengan Sky semakin menipis. Setelah beberapa kali percobaan, motor butut itu akhirnya berhasil menyala.

Keduanya pun dengan segera meninggalkan rumah Sky yang ternyata tidak seindah apa yang terlihat. 

"Langsung pulang, Ray?" tanya Radit dengan sedikit berteriak karena sedang mengendarai di motor.

"I-iya." Suara Maya terdengar bergetar ringan. Ia menyesal pergi ke rumah Sky. Dan kini, ransel serta perlengkapan sekolahnya tertinggal di sana.

Maya mengusap pahanya yang tertutup celana panjang. Untungnya, ia bisa merasakan jika kunci itu masih ada di sana. 

Tidak menunggu lama, mereka akhirnya sampai di kediaman Adiwangsa. Radit membantu Maya turun dengan menggenggam tangan gadis itu.

"Sebenarnya aku sangat penasaran, tapi aku tidak akan memaksamu bercerita. Just remember, we're friends. You can share your problems with me anytime," kata Radit dengan seulas senyum lembut di bibirnya. 

"Masuk dan istirahatlah." Radit menuntun Maya menuju gerbang. Di sana, ada penjaga keamanan yang menatapnya dengan pandangan menyelidik.

Maya berbalik, memberikan senyum lemah pada Radit sebelum laki-laki itu pergi. "Terima kasih ...."

Radit memberikan jempolnya. Setelah Radit dan motornya kembali ke jalan raya, Maya lantas melangkah ke dalam rumah. Anehnya, para pelayan terlihat begitu sibuk membersihkan ruang tamu.

Apa akan ada tamu?

"Maya, apa yang terjadi denganmu?!" Axel berseru. Matanya menelisik penampilan Maya yang terlihat berantakan.
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
9 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS