0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 14 - Hari Buruk

"Hari libur telah usai. Hari ini, di pagi Senin, Maya sudah duduk dengan tenang di bangkunya setelah upacara bendera. Sky belum terlihat. "

Hari libur telah usai. Hari ini, di pagi Senin, Maya sudah duduk dengan tenang di bangkunya setelah upacara bendera. Sky belum terlihat. Mungkin membeli minuman? Karena sejak tadi, gadis itu mengeluh tentang tenggorokannya yang terasa kering.

"Untuk Raya-ku tersayang!" Baru saja dipikirkan, Sky muncul dengan teriakannya. Ia meletakkan sebotol air mineral dingin di meja.

Maya berkedip beberapa kali. Ada senyum kecil di wajahnya saat menerima botol tersebut. "Thanks, Sky."

Sky tersenyum lebar. Meski merindukan kepribadian Raya yang lama, ia cukup senang dengan 'Raya' yang sekarang. Temannya itu menjadi sangat menggemaskan. Benar-benar seperti kelinci kecil. Pasti akan lebih menyenangkan jika mengajak 'Raya' yang ini melompat ke jendela.

"Omong-omong, Ray, kenapa kau tidak membalas pesanku?" tanya Sky dengan cemberut main-main di wajahnya.

Maya yang hendak membuka tutup botol, seketika mendongakkan kepalanya. "Pesan? Kapan?"

"Tentu saja hari Sabtu! Aku ingin mengajakmu menginap karena Minggu masih libur. Tapi kau malah mengabaikan pesanku." Sky mencebikkan bibirnya.

Penasaran, Maya lantas menyalakan ponselnya. Sayangnya, ia sama sekali tidak menemukan pesan dari Sky di sana. Bahkan nomor teman Raya itu juga tak dapat ia temukan.

Sky ikut melihat. Keningnya langsung membentuk sebaris kerutan saat nomornya menghilang dari daftar kontak.

'Si-al, ini pasti ulah kakak-kakak Raya.' Sky mengumpat dalam hati. Ia sungguh tidak habis pikir. Bagaimana bisa sikap para Adiwangsa itu tiba-tiba berubah?

"Hm? Mungkin aku salah kirim." Sky mengambil ponsel tersebut, lalu mengotak-atiknya sebentar tanpa membiarkan Maya melihatnya.

Gadis itu mencoba menahan umpatan keluar dari bibirnya ketika menyadari nomornya telah terblokir. Setelah Sky melepaskan blokiran tersebut, ia mengembalikan ponsel itu kembali ke Maya.

"Kau sepertinya tidak sengaja memblokir nomorku, Ray," kata Sky dengan senyum santai. Benar-benar berbanding terbalik dengan isi hatinya yang sedang menyumpahi keluarga Adiwangsa. 

"Sungguh? Maaf, Sky ... aku tidak sengaja," ucap Maya tulus. Rasa bersalah membuatnya tidak berani menatap Sky. Pasti dia sudah mengecewakan gadis dengan surai nyentrik itu.

Sky menyeringai kecil. Inilah mengapa ia begitu yakin jika bukan Maya yang melakukan hal tersebut. 'Raya' yang selugu ini ... mana mungkin sempat terpikirkan untuk memblokir nomornya?

"Sebagai gantinya, bagaimana kalau kau ke rumahku sepulang sekolah nanti?" Sky menumpukan dagunya ke pundak Maya.

"Eh, soal itu- aku butuh izin lebih dulu–"

"Ray, kau sudah tak menganggapku teman, ya? Padahal kita sudah seperti saudara, tapi kau lebih mementingkan kakak-kakakmu yang baji-ngan itu." Sky merengek, menatap Maya dengan mata berlinang air mata.

Maya terbatuk. Baji-ngan, katanya. Sky memang pemberani— yang sepertinya, Raya juga demikian. Sedangkan dirinya menatap mata Garry saja tidak bisa. Ia juga tak berani membantah perkataan Axel dan Lexa. Sementara Devon ... ah- sudahlah, Maya bahkan tidak ingin bertemu dengan pria itu lagi.

"A-aku coba tanyakan kak Lexa dulu." Keputusan final Maya membuat Sky berdecak kesal. Saat ia ingin kembali mengatakan sesuatu, guru akhirnya datang.

Sky menegakkan tubuhnya, disusul Maya yang juga melakukan hal yang sama. Di depan kelas, berdiri seorang guru perempuan dengan pakaian kasual dan kacamata yang membingkai wajahnya.

Namanya Mrs. Anne, guru matematika yang sudah ia rasakan sendiri betapa mengerikannya dalam mengajar. Sekitar beberapa hari yang lalu— tepat di hari Jumat— Mrs. Anne mengadakan ulangan harian yang benar-benar Maya kerjakan asal.

Ia sama sekali tidak mengerti satu pun soal yang ada di kertas. Dan melihat bagaimana guru itu menatap ke arahnya dengan tajam, Maya tahu ia dalam masalah besar.

"Raya Adiwangsa, apa kau meninggalkan otakmu saat kecelakaan? Nilai apa-apaan ini?" Mrs. Anne menunjukkan kertas dengan nilai merah di hadapan semua murid. Dibukanya kertas itu lebar-lebar, seolah seluruh murid di kelas harus mengetahuinya.

Seketika, semuanya memandang ke arah Maya yang terbelalak. Beberapa terang-terangan mengejek, sementara yang lain tampak memandangnya rendah. Gadis itu menunduk dalam, benar-benar merasa malu.

"M-maafkan saya, Mrs. Anne ...." bisiknya terbata-bata. Jarinya dengan spontan meremas roknya hingga kain itu kusut.

"I don't need your apology. Jika kau meneruskan nilai sampah seperti ini, jangan salahkan pihak sekolah yang akan memindahkanmu ke kelas yang lebih rendah." Wanita itu berkata tajam, membuat Maya hanya bisa mengangguk kaku.

"I-I understand, Mrs. Anne. I-I'll study harder." Maya menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air matanya yang siap jatuh saat beberapa murid terdengar mencemoohnya.

"You'd better do that." 

Setelah itu, pelajaran dimulai. Maya mencoba fokus, tetapi begitu sulit. Gadis itu terus menunduk, terlalu malu untuk menatap siapa pun. Bahkan saat Sky mengajaknya berbicara, Maya hanya menggeleng lemah.

***

Maya menekuk tangannya di atas meja, menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangan. Ini sudah jam istirahat, tetapi Maya memilih berdiam diri di kelas. Sky sendiri tetap pergi ke kantin karena inhjn membelikan Maya makan siang.

Di pojok ruangan, Arkana mengawasi Maya dengan mata elangnya. Kecurigaannya semakin menguat. Bagaimana mungkin Raya yang selalu berebut menjadi juara kelas dengannya itu mendapat nilai merah? Bahkan ... nyaris nol.

Seakan dirasuki sesuatu, Arkana melangkah ke arah Maya. Suara sepatunya yang beradu dengan lantai membuat Maya mendongak, mengira jika Sky sudah datang.

Saat itulah matanya beradu dengan pemilik tatapan tajam di depannya. Arkana menunduk, memandang Maya seolah-olah gadis itu adalah sesuatu yang yang layak diteliti. 

Maya tanpa sadar menggigit pipi bagian dalamnya. Tatapan itu ... mengapa ia merasa jika Arkana bisa saja membelah perutnya untuk memuaskan rasa penasarannya?

"Apa kau saudara kembar Raya?" 

Pertanyaan itu membuat Maya membelalakkan matanya. Gadis itu langsung menegakkan tubuhnya. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri, berusaha mencari alasan.

"W-what? No, I don't have a twin." Maya tertawa kecil. Sayangnya, tawa itu terdengar terlalu canggung dan gugup untuk Arkana percaya.

"But … you act like a completely different person." Arkana mencondongkan tubuhnya lebih dekat, membuat Maya menahan napasnya selama beberapa detik. Matanya terlihat menyelidik.

Maya menatap ke sembarang arah. Ke mana pun asal tidak berpandangan dengan remaja laki-laki ini. "Itu- itu hanya karena aku hilang ingatan."

"Oh, ya?" Nada bicaranya mungkin terdengar datar. Namun, Maya bisa merasakan jika Arkana tidak bermain-main dengan pertanyaannya. 

Maya mengangguk kaku. Kali ini, Arkana tidak mengatakan apa pun. Ia menjauhkan tubuhnya, membuat Maya akhirnya bisa bernapas lebih bebas.

"I can tutor you ..., If you want," kata Arkana sambil meletakkan satu tangannya di saku celana. 

Namun sebelum Maya sempat menjawab, tubuh Arkana tiba-tiba tertarik ke belakang dengan kasar. Axel-lah pelakunya. Di sampingnya, Lexa berdiri dengan tatapan dinginnya.

"Adikku tidak membutuhkanmu sebagai tutornya. Kami bisa mengajarinya lebih baik daripada kutu buku sepertimu." Axel menggulung lengan seragamnya, bersiap untuk meluncurkan bogemannya andai bocah ingusan itu tidak segera menyingkir.

"Terserah," balas Arkana singkat. Remaja itu berbalik, lalu kembali ke bangkunya dengan santai.

Axel masih tetap mengawasi dengan tatapan tajamnya. Setelah memastikan Arkana benar-benar duduk, ia akhirnya bisa lebih rileks dan memusatkan perhatiannya pada Maya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Lexa sambil mengelus lembut puncak kepala gadis itu. 

Maya menggeleng, lalu dengan cepat mengangguk. Mata Axel menyipit penuh selidik.

"Apa dia macam-macam denganmu?" Tanpa merasa bersalah, Axel menunjuk Arkana dengan jari tengahnya.

Maya meringis. Ia cepat-cepat menggeleng. "Aku hanya sedikit kecewa."

"Kenapa?" tanya Axel dan Lexa dengan kompak.

Dengan wajah bersemu karena malu, Maya menunjukkan kertas ulangannya. Axel dan Lexa saling berpandangan. Axel dengan tatapan frustrasinya dan Lexa dengan tatapan tajamnya. Gadis itu merasa perlu memberi peringatan pada adik kembarnya agar tidak mengatakan sesuatu yang bisa melukai perasaan Maya untuk kedua kalinya.

Axel menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Tidak masalah, ya 'kan, Lexa? Itu sebelum aku mengajarimu. Jadi wajar saja."

"Sungguh ...?" Maya bertanya ragu.

Sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Axel mengangguk. Senyum percaya dirinya kembali muncul. "Lihat saja, kau akan mendapat nilai sempurna nanti."

"Hm. Kau hanya perlu belajar dengan giat," timpal Lexa ikut mengangguk.

Mendengar itu, wajah Maya kembali cerah. Gadis itu mengangguk malu-malu sambil memainkan jarinya. "Aku ... aku akan belajar dengan rajin."

"Good girl." Axel ikut mengusap puncak kepala Maya. Tidak selembut Lexa memang, tetapi Maya tidak akan mengeluh. 

Sementara itu, tanpa Maya ketahui, Axel dan Lexa menatap lama kalung yang menggantung di lehernya. Keduanya begitu pandai menyembunyikan emosi, hingga membuat Maya tidak menyadari jika saudara kembar itu sedang marah besar.

Mereka ... tidak datang ke kelas Maya tanpa alasan. 

***

Btw, Axel yang ngajar Maya itu pas hari libur, ya. Nah, kalau sekarang minggu kedua Maya sekolah. Maaf kalau membingungkan (´•̥﹏•̥`)​


Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
9 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS