0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 13 - Masa Lalu

""Ini buku-buku milikku di sekolah menengah pertama." Axel meletakkan tumpukan buku di meja belajar Maya."

"Ini buku-buku milikku di sekolah menengah pertama." Axel meletakkan tumpukan buku di meja belajar Maya.

Gadis itu menelan salivanya dengan susah payah. Tidak seperti karakter Axel yang terlihat serampangan, sepertinya remaja itu bisa dikatakan cukup rajin. Bahkan tumpukan buku catatannya bisa sampai setinggi itu.

"Aku harus ... mempelajari semuanya?" Mulut Maya terbuka lebar. Ia tidak bisa membayangkannya.

Axel berdecak. Pemuda itu mengapit kepala Maya di ketiaknya, lalu setengah menyeret gadis itu agar duduk. Ia mengambil satu buku dari tumpukan paling atas.

"Ini rangkuman pelajaran biologi kelas tujuh," kata Axel sambil membuka buku tersebut. "Sayangnya catatan semester satu hilang entah ke mana."

Remaja itu kemudian mengalihkan pandangannya pada Maya yang wajahnya terlihat memucat. "Jangan-jangan ... kau bahkan belum masuk ke semester dua?"

Maya mengangguk kaku. "Aku baru sekolah dua bulan," jawabnya jujur. Bahkan saat itu, Maya lebih banyak izin karena harus bolak-balik ke rumah sakit.

"Si-al. Kau benar-benar masih anak SD." Axel menggerang frustrasi.

Maya menggeleng tak terima, tetapi tidak berani mengatakan apa pun. Ia takut Axel akan kelepasan dan mengatakan hal-hal buruk lagi.

Menyadari perubahan ekspresi Maya, tatapan Axel berubah lebih lembut. "I'm sorry, okay? I'll try to control myself and not say anything hurtful to you again." 

Melihat anggukan Maya, Axel akhirnya bisa menghela napas lega. Matanya melirik sekian detik ke arah kalung adiknya, sebelum kemudian memandang ke arah lain.

"Alright, let's start the study, shall we?"

Hingga beberapa jam ke depan, Axel terus membantu Maya belajar untuk mengejar 'ketinggalan' gadis tersebut. Tak bisa dipungkiri, Maya benar-benar merasa terbebani.

Sekolahnya dulu hanyalah sekolah negeri biasa. Sementara itu, sekolah Raya adalah sekolah swasta bergengsi dengan kurikulum berstandar internasional. Seolah-olah takdir ingin membuatnya semakin tertekan, Raya merupakan bagian dari kelas yang dihuni oleh murid-murid dengan kecerdasan di atas rata-rata. Yang mana, materinya sudah disesuaikan dengan tingkat kemampuan para murid.

Masalahnya, Maya bukanlah Raya.

"Di usus halus nanti, nutrisi akan dise- wait, kau tidur ...?" Axel menepuk keningnya. Ia membereskan buku ke meja, lalu membaringkan tubuhnya di samping Maya yang berbaring telungkup. 

Matanya menatap lekat ke wajah Maya. Pelan, Axel menusuk lembut pipi gadis itu. "How could you forget everything about us, Maya?"

Ting! Ting!

Suara pesan beruntun itu membuat Axel berdecak lirih. Ia bangkit, lalu meraih ponsel 'Raya' yang tidak terkunci. Ada dua pesan di sana. Keduanya dari satu orang yang sama— Sky.

[Ray, ayo menginap di rumahku di nanti malam.]
[Pleaseee?]

"Gadis psiko ini ...." Axel dengan cepat menghapus pesan tersebut, lalu memblokir nomor Sky. 

***

"Kakak, ini di mana, ya?" tanya Raya kecil sambil menepuk-nepuk pundak Lexa dari belakang.

Lexa berbalik. Keningnya seketika membentuk kerutan tipis saat melihat tingkah tidak biasa adik bungsunya. Biasanya Raya akan memanggilnya dengan semangat untuk mencari perhatiannya, bukan tersenyum malu-malu seperti ini. 

"Kakak?" panggil Raya lagi saat tidak mendengar adanya jawaban. Matanya berkedip beberapa kali dengan senyum kecil yang terlihat sungkan. 

"Aku sedang belajar. Pergilah." Lexa memilih tidak peduli. Gadis kecil itu kembali membaca buku di tangannya.

"Maaf ...." Suara lirih itu membuat Lexa merasa tidak enak. Ia belum pernah mendengar nada tersebut keluar dari bibir Raya sebelumnya.

"Ini di rumah kakek," jawab Lexa singkat. Mereka saat ini memang sedang berlibur di rumah sang kakek. Dan tadi, Raya tertidur di perjalanan. Mungkin karena itulah dia terlihat linglung.

Mata Raya terlihat membulat lucu. "Maya punya Kakek?"

"Raya. Namamu Raya," koreksi Lexa dengan helaan napas panjang di akhir kalimat.

"Tapi nama Maya itu Maya, bukan Raya," ucap Raya sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Lexa melirik gadis kecil yang lebih muda dua tahun darinya itu dengan lelah.

"Stop it, Raya. This isn't funny." Lexa menutup bukunya dengan kuat, membuat Raya melompat kecil karena terkejut.

"Wahh ... Kakak bisa bahasa Inggris. Tapi Maya tidak paham artinya." Raya menatap Lexa dengan mata berbinar polos penuh kekaguman.

Kerutan di dahi Lexa terlihat semakin dalam. Bagaimana mungkin Raya tidak memahami bahasa Inggris ketika mata pelajaran itulah yang menjadi favorit gadis kecil itu?

"Raya, stop lying just so you can play with me," ucap Lexa tajam. Tatapannya dinginnya tertuju tepat pada Raya.

Namun bukannya takut, binar di matanya justru tampak semakin bersinar. "Kakak keren!" puji Raya. Ada senyum lebar di wajahnya.

Lexa tertegun. Tidak mungkin. Gadis kecil di depannya ini sudah pasti bukan Raya. Karena Raya ... tidak akan bersikap semanis ini. 

Raya terlalu berisik. Dia dianggap terlalu liar dan selalu mencari perhatian di keluarga Adiwangsa. Apalagi dengan latar belakangnya yang merupakan anak dari seorang pela-cur, Raya benar-benar terkucilkan.

Namun, gadis kecil ini berbeda. Kepribadiannya tidak menggebu-gebu seperti Raya. Dia tidak memaksakan kehendaknya. Nyaris terlalu patuh. 

Benar-benar ... adik yang selalu Lexa inginkan. Mata gadis kecil itu kemudian bertabrakan dengan adik kembarnya yang sedang bermain sepak bola dengan kakak sulungnya. Sama seperti Raya, adik kembarnya terlalu liar. Namun perbedaannya, semua orang bisa memaklumi Axel karena latar belakangnya yang 'bersih'.

'Apa Raya punya saudara kembar?' pikir Lexa saat itu.

Sayangnya, pemikirannya salah besar. Raya tidak pernah memiliki saudara kembar. Hal itu sudah ia pastikan kepada ayahnya sendiri. Lalu ... siapa 'Maya' sebenarnya?

Selama tiga hari, Raya menjadi lebih dekat dengan keluarga Adiwangsa karena sikap sopan dan manisnya. Axel yang biasanya menganggap Raya pengganggu menjadi garda nomor satu dari gadis kecil itu saat Devon menjahilinya.

Bahkan ayahnya— Garry— tampak mulai mengakui keberadaan Raya. Sayangnya, hal tersebut tidak bertahan lama. 

Raya saat ini tengah duduk di pangkuan Devon saat remaja itu menyisir rambutnya. "Kakak, kapan kita pulang? Maya merindukan ibu."

"Untuk apa kau merindukan ibumu? Dia mungkin sedang tidur dengan pria asing di hotel murah. Lebih baik di sini. Di rumah kakek ada kolam renang dan kebun anggur."

"Devon!" tegur Garry dengan tatapan tajamnya. Padahal sebelumnya, Garry menutup mata akan semua perlakuan Adiwangsa kepada Raya.

Maya menunduk, menatap kakinya yang bergerak tidak tenang. "Maya mau bertemu ibu ...."

Dan setelah itu, semuanya berubah. Pagi harinya, 'Maya' menghilang. Raya kembali ke sifat awalnya. Garry menjadi skeptis. Pikirnya, gadis kecil itu mencoba memanipulasi keluarganya.

Ketika semua orang mengira demikian, Lexa berbeda. Gadis kecil itu termangu, menatap gambar yang 'Maya' buat. Meski berantakan, terlihat jelas ada tiga orang di sana. Seorang wanita yang kemungkinan besar menggendong bayi, lalu anak perempuan yang berdiri di sampingnya.

Dari sanalah Lexa tahu. 'Maya' benar-benar bukan Raya. Dan gadis itu ... menghilang begitu saja. Tanpa berpamitan. Tanpa satu kata pun.​
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
13 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS