0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 8 - Kecelakaan

"Ray, sadar, woy! Astaga ...." Radit memijat ujung hidungnya, menatap lelah ke arah Raya yang tengah mengumpati keluarganya sambil memeluk botol alkohol.

"Fuck you, Garry! Fuck you, Devon! And fuck you, Double X!" Raya menggerutu, hampir menggigit meja andai Radit tidak menjauhkan kepala gadis itu.

"Raya, stop it!" Mata Radit seketika membola ketika melihat Sky yang hampir dibopong pria tua. "Astaga, Siti!"

Dengan frustrasi, Radit menarik Sky dari pria hidung belang tersebut. Tentu saja pria itu tidak terima buruannya direbut. Adu mulut pun tak dapat dihindari, membuatnya tidak menyadari jika Raya kini berjalan keluar dari klub dengan bibir yang terus mengeluarkan umpatan.

"Kunciku- sia-lan ... tidak ada di mana-mana." Tangannya meraba-raba saku celana pendeknya yang hampir tak layak disebut celana, tetapi kuncinya tidak ada di sana.

Dengan kesadaran yang nyaris hilang, Raya berjalan dengan langkah gontai— tanpa peduli pada jalanan atau kendaraan yang berpacu di jalan raya.

Detik berikutnya, suara benturan keras terdengar memekakkan telinga.

Suara umpatan terdengar dari pengemudi yang baru saja menabrak Raya. "Bang-sat! Dasar pemabuk sia-lan!"

Keadaan Raya benar-benar buruk. Tubuhnya tergeletak di pinggir jalan dengan kepala yang membentur trotoar. Ada darah yang mengucur deras dari sana. Di saat kegelapan hampir menjemputnya, Raya bisa melihat Radit yang dengan panik menghampirinya bersama Sky yang masih mabuk.

"Jadi ... aku kecelakaan karena mabuk?" Maya tidak bisa menahan ekspresi terkejutnya. Sebenarnya kehidupan macam apa yang Raya jalani? Selain keluarganya yang berantakan, tampaknya hidup Raya memang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. 

Sky mengangguk. Bibirnya membentuk garis cemberut. "Kau benar-benar membuatku hampir terkena serangan jantung. Andai kau tidak siuman hari itu, mungkin aku lebih memilih mati dengan cara yang sama."

Cara Sky mengatakan kalimat mengerikan di atas dengan begitu mudahnya, membuat Maya bergidik ngeri. "Jangan mengatakan hal-hal seperti itu, Sky ...."

"Tapi semua itu adalah idemu, Ray. Kita berjanji untuk mati bersama. Ah, aku lupa kau tidak mengingatnya. Yah ... setidaknya untuk sekarang. Kau akan mengingatnya nanti. Iya 'kan, Raya?" Ada sebaris seringai di bibir Sky, membuat Maya refleks memandang ke arah lain.

"Just kidding! Astaga, lihat wajahmu yang ketakutan itu. Raya-ku sangat menggemaskan!" Sky menarik Maya ke pelukannya.

***

Malam harinya, setelah makan malam, Garry memanggil Lexa ke ruang kerjanya. Gadis dengan potongan rambut pendek itu duduk di depan sang ayah. Ekspresinya datar, dengan tatapan mata yang sedingin es.

Hanya dengan sekali pandang, siapa pun tahu jika Garry dan Lexa berbagi darah yang sama.

"Apa yang membuat sikapmu dan Axel berubah pada Raya?" tanya Garry tanpa basa-basi.

"Kenapa Ayah peduli?" tanya Lexa balik. Ayah dan anak itu saling berpandangan. Tidak ada kehangatan, seolah rasa itu tidak pernah ada di keluarga Adiwangsa. 

"Jawab saja, Lexa." Garry melepaskan kacamata bacanya, lalu meletakkannya di atas dokumen.

"Raya sudah mati."

Jawaban singkat itu sama sekali tidak memuaskan rasa penasaran Garry. Alih-alih, ia semakin dibuat penasaran.

"Apa maksudmu Raya sudah mati? Gadis itu bahkan ikut makan malam bersama kita," sanggah Garry dengan kening berkerut.

Lexa terkekeh kecil. Seringainya membuat Garry merasa melihat dirinya sendiri saat ia terobsesi dengan sesuatu. Atau bahkan ... seseorang.

"Dia bukan Raya, melainkan Maya." Lexa melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa Ayah percaya dengan perpindahan jiwa?"

"Jangan bercanda, Lexa. Sesuatu yang seperti itu tidak pernah ada. Dokter sudah memiliki diagnosis ilmiahnya sendiri." Garry menatap putrinya dengan lelah. Apa maksudnya ini? Candaan antar remaja?

"Tapi sesuatu yang Ayah anggap tak mungkin itu benar-benar terjadi," bantah Lexa cepat.

"Buktikan." 

Perintah itu membuat rahang Lexa mengeras. "Sure, Dad."

Sementara itu sisi rumah bagian lain, Maya terlihat tengah berjalan menuju dapur untuk mengisi ulang teko airnya. Berkat Lexa, kini Maya bisa bergerak bebas di dalam rumah. 

Ia tidak perlu lagi merasa bosan di dalam kamar. Meski tetap, keluar dari rumah adalah pengecualian.

"Entah drama apa lagi yang sedang anak ja-lang lakukan. Dia pikir dengan bersikap manis seperti itu akan membuat keluarga Adiwangsa menyayanginya. Padahal faktanya, Nona Lexa dan Tuan Muda Axel hanya bermain-main." Seorang pelayan tampak menggerutu sambil membersihkan kompor.

Pelayan lain mengangguk setuju. "Lihat saja. Tidak lama lagi, anak itu pasti akan dibuang ke jalanan, tempat di mana Tuan Besar memungut ibunya dulu."

Maya refleks menghentikan langkahnya. Dadanya terasa sesak hanya dengan mendengar para pelayan itu menggunjing Raya. Ia saja merasa sesakit hati ini, lantas bagaimana dengan Raya? Sebenarnya seberapa kuat gadis itu?

Prangg!

Seseorang tiba-tiba datang, menyapu bersih susunan piring yang ada di meja dengan tangan kosong. Para pelayan seketika terkesiap kaget. Mereka membelalakkan matanya ketika melihat kemarahan tuan muda kedua dari keluarga Adiwangsa.

"Sia-lan, siapa kalian berani-beraninya membicarakan keluarga Adiwangsa di belakang?! Kalian hanya pelayan rendahan!" Axel menendang meja dengan kuat, membuat beberapa pelayan terluka karenanya. 

"M-maaf, Tuan Muda, kami tak bermak–"

"Kau apa, hah?! Kau mau mengatakan jika kau tak bermaksud menggunjing tangan yang memberimu makan?!" bentak Axel sambil menampar pelayan yang mencoba berkilah tadi.

Axel mengibaskan tangannya ke udara dengan jijik. Matanya yang berkilat penuh kemarahan menatap satu demi satu pelayan yang ada di sana. Beberapa terlihat menangis ketakutan, dan yang lain tampak terlalu takut hanya untuk membuka mata.

"Ini adalah hari terakhir kalian bekerja di sini. Kemasi barang-barang kalian sekarang sebelum aku menyuruh penjaga melempar kalian ke jalanan." Itu adalah kata-kata terakhir Axel sebelum kemudian berjalan keluar dari dapur.

Ia menoleh ke Maya yang bersandar di dinding dengan wajah syok, lalu menarik tangan gadis itu menjauh. Maya menelan ludahnya dengan susah payah dan hanya menurut saat Axel membawanya pergi.

"Lain kali jika ada orang yang mengatakan hal-hal buruk padamu, langsung laporkan padaku," kata Axel menggebu-gebu.

"Kata-kata itu bukan untukku, tapi untuk Raya ...." Maya menundukkan pandangannya. Jika dia adalah Raya yang asli, apakah Axel akan tetap membelanya? Atau justru ... ikut mengejek Raya bersama para pelayan?

Karena Maya tahu, jika Axel sangat membenci Raya.

"Tetap saja! Pelayan rendahan itu berkata jika kami hanya bermain-main denganmu, padahal sama sekali tidak benar! Lalu kami juga tidak akan membiarkan ayah membuangmu ke jalanan." Axel menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan menunduk untuk menatap Maya.

"Kenapa?" tanya Maya lirih. Tangannya yang masih memerah karena genggaman Axel yang terlalu kuat tadi pagi mengepal erat.

"Karena kau adalah adik perempuan yang kami inginkan." Jawaban singkat dari Axel membuat Maya merasa muak.

"Raya adalah adik kalian yang seben–"

"Bukan! Anak ja-lang itu bukan adikku. Bukan adik kami atau bagian dari keluarga Adiwangsa. Jadi, berhenti membawa-bawa nama anak sia-lan itu dan jadilah adik manis yang selalu kami inginkan. Mengerti, Maya?"
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
2 komentar
Search
Menu
Share
Additional JS