[BYT] Bab 5 - Arkana Mahesa
""Jangan terlalu keras pada Raya," kata Lexa sambil menutup bukunya. Tatapan datarnya tertuju pada adik kembarnya yang tengah menggiring bola basket de"
"Jangan terlalu keras pada Raya," kata Lexa sambil menutup bukunya. Tatapan datarnya tertuju pada adik kembarnya yang tengah menggiring bola basket dengan malas.
Pandangan Axel langsung berubah tajam. Ia melemparkan bola di tangannya dengan asal, lalu menghampiri Lexa. "Kaulah yang seharusnya berhenti bersikap terlalu lunak pada anak ja-lang itu!"
"Dia bukan Raya." Lexa membalas dingin.
Jawaban itu membuat Axel terpaku. Ia menatap Lexa dengan kening berkerut. "Apa maksudmu dia bukan Raya?"
Sayangnya, Lexa hanya berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan Axel yang mengusap wajahnya kasar.
"Apa-apaan dia?" Axel berdecak kesal.
***
Maya menatap bosan ke arah jendela yang kini memiliki gembok. Tangannya dengan resah mengetuk-ngetuk kaca jendela. Ada banyak kekhawatiran yang berputar di kepalanya. Tentang keluarga kecilnya, tentang bagaimana kehidupan selanjutnya, dan sebagainya.
Bagaimana caranya mencari keberadaan sang ibu dan adik jika keluar dari kamar saja tidak bisa?
'Raya, kamu di mana sebenarnya?' tanya Maya dalam hati.
Jika jiwanya menempati raga Raya, lalu di mana pemilik asli tubuh ini? Ada beberapa kemungkinan yang dapat Maya pikirkan. Raya ... bisa saja sudah tiada.
Lalu kemungkinan kedua, jiwa Raya berada di tubuhnya. Namun, Maya sendiri merasa skeptis dengan pemikiran tersebut.
Tubuhnya sudah terlalu rusak. Rasanya tidak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi.
Ceklek!
Pintu terbuka dari luar. Garry ada di sana, berdiri dengan wajah dingin dan tatapan setajam pisau.
Maya tanpa sadar menelan ludahnya dengan susah payah. Baginya, orang paling menakutkan di keluarga ini adalah Garry. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayah dari Raya Adiwangsa.
"Mana ponselmu?" tanya Garry tanpa basa-basi.
"Aku tidak tahu," jawab Maya ragu. Tangannya yang semula berada di kaca jendela kini saling tertaut karena gugup.
"Jangan berbohong. Di mana ponselmu?!" tuding Garry dengan marah.
Keberanian Maya semakin menciut. "A-aku sungguh tidak tahu. Mungkin ketinggalan di rumah sakit."
Maya sebenarnya hanya asal bicara. Namun, bukankah memang ada kemungkinan jika ponsel milik Raya tertinggal di rumah sakit?
Jika Garry menyuruhnya mengambil ponsel tersebut, maka Maya akan memiliki kesempatan untuk kabur. Atau setidaknya, menemui kedua teman Raya yang terlihat lebih manusiawi dan meminta bantuan.
Karena Maya benar-benar tidak tahu di manakah ia sekarang. Apa ini masih di kota yang sama dengan tempat tinggalnya dulu? Maya ragu. Karena saat dalam perjalanan dari rumah sakit menuju rumah ini, Maya tidak mengenali satu pun jalan atau bangunan.
Semuanya benar-benar asing. Orang-orang yang asing. Lingkungan yang asing. Bahkan suasana yang asing. Maya merasa buta.
"Tertinggal di rumah sakit? Kau pikir aku bodoh?!" Garry berjalan mendekat. Ia membuka setiap laci yang ada dan memeriksa meja serta lemari.
Sama sepertinya, Garry juga menemukan laci yang terkunci. Pria itu berbalik, menatap Maya tajam. Ia mengira jika di sanalah Raya menyembunyikan ponselnya.
"Berikan kuncinya!" perintah Garry dengan nada tajam.
"A-aku tidak punya kuncinya." Maya menggigit pipi bagian dalamnya.
"Teruslah berbohong dan lihat apa kau akan mendapatkan makan malam hari ini!" Garry melemparkan buku-buku yang ada di atas meja, membuat Maya kembali menelan saliva dengan susah payah.
"Tapi aku benar-benar tak punya kuncinya. Aku rasa ... aku- aku lupa meletakkannya di mana," kata Maya terbata-bata. Dia bahkan bukan Raya. Bagaimana Maya tahu di mana kunci itu berada?
"Dan sekarang kau bertingkah seperti orang lain." Garry menatap Maya penuh tuduhan, sebelum kemudian berjalan keluar. Tentu saja pintu kembali terkunci dari luar.
Maya akhirnya bisa mengembuskan napas lega. Ia mendudukkan dirinya di tepi ranjang, menatap buku-buku Raya yang tergeletak di lantai.
Tanpa sengaja, matanya tertuju pada satu buku yang terbuka di halaman pertamanya. Itu adalah buku yang memiliki sampul berbeda yang ditemukannya beberapa hari lalu.
Di halaman pertama, tepat di pojok kiri atas, ada beberapa daftar yang menunjukkan nama, kelas, mata pelajaran, serta alamat singkat. Khas sekali dengan buku anak sekolah menengah pertama pada umumnya.
Maya berjongkok, mengambil buku tersebut dan membacanya singkat. Matanya membulat ketika menemukan jika nama yang tertera di sana bukanlah Raya Adiwangsa, melainkan Arkana Mahesa.
Nama: Arkana Mahesa
Kelas: IX A
Mapel: Fisika
Alamat: Jalan Dermawan, Kabupaten XXX
Senyum Maya akhirnya terbit setelah membaca informasi singkat tersebut. Apa dia adalah salah satu teman Raya? Mungkin yang ada di rumah sakit saat itu?
Maya kemudian membolak-balikkan lembar demi lembar dari buku tersebut. Kali ini lebih pelan dari sebelumnya.
Sayangnya, tidak ada informasi penting yang dapat ditemukannya kecuali fakta jika Arkana adalah siswa yang cukup pintar. Nilai sempurna bertebaran di bukunya.
Maya menghela napas. Setidaknya kini Maya tahu di manakah ia sekarang. Dan menurut alamat yang tertulis di buku Arkana, jarak antara tempat ini dan rumah ibunya tidak begitu jauh— masih satu provinsi meski berbeda kota.
Arkana adalah teman Raya. Pasti rumahnya masih di sekitar sini, 'kan? Yang artinya, mereka masih di kota yang sama. Jadi, Maya bisa mengambil kesimpulan di mana ia sekarang dari catatan tersebut.
Yang menjadi masalah, yakni bagaimana caranya keluar dari sangkar emas ini?
***
Seperti yang Garry katakan, malam ini Maya benar-benar tidak mendapatkan makan malam. Jika biasanya ada pelayan yang mengantarkan makanan, kali ini tidak ada.
Maya meremas perutnya yang berbunyi. Ia meminum banyak air untuk memuaskan rasa laparnya. Namun, air saja tidak cukup.
"Ibu ... Maya lapar." Maya berbisik pada udara kosong. Ia menarik selimutnya semakin tinggi hingga menutupi seluruh tubuhnya. Dengan terpaksa, Maya harus tidur dengan perut kosong.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Maya mengetahui jika ada manusia sekejam ayah Raya. Bukankah Raya anak kandungnya? Namun, yang terlihat bukan demikian.
Keesokan, Maya terbangun pagi-pagi sekali. Perutnya kembali berbunyi begitu membuka mata. Maya menghela napas, mengusap matanya yang masih terasa berat.
Saat itulah tatapan matanya tertuju pada nampan di atas nakas. Ada makanan yang sudah dingin di sana. Selain itu, secarik kertas juga terlihat di bawah mangkuk sup.
Maya mengangkat mangkuk tersebut, lalu mengambil kertas yang ada di bawahnya. Ada satu kalimat di sana, yang membuat Maya refleks mengerutkan keningnya.
'Jangan membuat ayah marah lagi'.
Sayangnya, tidak ada nama pengirim dari makanan tersebut. Garry? Rasanya mustahil.
Mungkin ... Lexa? Benar, pasti dia. Lexa adalah satu-satunya orang yang menunjukkan dukungannya di rumah ini.
Senyum Maya terangkat tinggi ketika menyantap makanan tersebut. Rasa kecewanya pada Garry seolah hilang begitu saja. Benar-benar gadis yang terlalu naif.
Sementara itu di ruangan lain, seorang pria terlihat tengah membaca buku di samping jendela. Tatapan matanya tertuju pada jendela lain yang tertutup.
Ada bayangan seseorang di sana. Yang artinya, orang di ruangan itu sudah bangun. Tanpa sadar, helaan napas lega keluar dari bibirnya.
Sebenarnya mengapa ia harus peduli pada anak dari wanita yang merenggut nyawa ibunya? Entahlah, ia juga tidak tahu. Namun sejak kecelakaan yang hampir menewaskan Raya, ia merasa bersalah.
Anak itu ... tidak seharusnya menanggung dosa ibunya.
