0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 3 - Si Kembar

""Bukan apa-apa." Maya dengan cepat memandang ke arah lain. Matanya seketika membelalak saat remaja tersebut mengusir pelayan tadi keluar."

"Bukan apa-apa." Maya dengan cepat memandang ke arah lain. Matanya seketika membelalak saat remaja tersebut mengusir pelayan tadi keluar.

Maya merasa terjebak dan tidak aman. Ia refleks melangkah mundur beberapa langkah. Bola matanya menatap awas gerakan kaki remaja laki-laki di hadapannya. 

"Tatap mataku, Sia-lan!" Sebuah tangan mencengkeram dagunya kuat, memaksa Maya mendongak. 

Maya menelan salivanya dengan susah payah, menatap takut sepasang mata yang memandangnya tajam dan penuh selidik. 

"Kau ... kau bukan Ja-lang Kecil itu. Siapa kau?!" Laki-laki itu berteriak tepat di wajah Maya. Cengkeramannya menguat, membuat Maya meringis pelan. 

"Sa-sakit ...." Maya mencoba melepaskan tangan remaja itu dari dagunya, ketika tiba-tiba, tangan lain menepis cengkeraman tersebut dengan kuat.

Maya langsung mengambil langkah mundur dengan tergesa. Ia menatap sosok gadis yang datang entah kapan dengan pandangan penuh rasa terima kasih. 

"Apa ini? Tidak biasanya kau ikut campur, Lexa," desisnya dengan rendah. Ia terlihat marah, tetapi juga sedikit lebih tenang.

Gadis yang dipanggil Lexa itu justru mengarahkan matanya pada Maya. Pandangannya datar, dingin, dan menusuk. Selang beberapa detik, ia berbalik begitu saja.

"Biarkan adik kita beristirahat, Axel," katanya sambil berjalan keluar kamar.

Axel berdecak keras. Ia memberikan tatapan membunuh pada Maya untuk terakhir kalinya, sebelum kemudian menyusul langkah kakak kembarnya keluar dari kamar Maya- ah, Raya.

"Adik ...?" Maya terduduk di tepi ranjang. Matanya menatap kosong pintu yang tertutup. 

"Lalu di mana adikku sendiri? Di mana ibu?" tanya Maya lirih pada udara kosong. Tak ada jawaban, yang terdengar hanyalah suara daun dan ranting yang saling bergesekan di luar sana. 

Maya kembali menatap pantulan dirinya dari cermin. Gadis dengan rambut panjang dan perban di kepalanya itu bukan dirinya. Tidak ada lagi gadis kurus kering berwajah pucat. Tidak ada lagi alat-alat penunjang kehidupan di tubuhnya.

Maya tidak perlu menelan obat lagi. Ia juga tidak perlu berbaring terus-menerus di ruangan serba putih. Namun bayarannya, ia tidak bisa bertemu ibu dan adiknya lagi. 

Bagi Maya, berteman dengan jarum suntik jauh lebih baik daripada kehilangan keluarga kecilnya. 

'Aku memang berdoa agar bisa sembuh. Tapi bukan seperti ini, Tuhan ....'

***

Keesokan paginya, pelayan datang sebelum Maya bangun. Perbannya sudah diganti dan sarapannya sudah tersedia. Maya menatap hidangan mewah di depannya. Dulu, ia hanya bisa menyantap makanan hambar dan seadanya. Namun dengan kehadiran ibu dan adiknya, makanan hambar dan membosankan tersebut terasa jauh lebih nikmat daripada hidangan apa pun.

Maya mencoba menelan makanannya, tetapi rasanya begitu sulit. Dengan isakan kecil, Maya memaksakan dirinya untuk makan. Ia merindukan keluarganya. Sangat.

Lalu tiba-tiba, sebuah pikiran melesat di pikirannya. Jika ia mati ... apakah Maya akan kembali ke tubuh aslinya? Atau ia hanya akan pergi ke alam baka karena tubuh aslinya sudah rata dengan tanah?

Pertanyaan selanjutnya, di mana Raya?

Maya mengalihkan pandangannya pada jendela. Dengan langkah tertatih, ia melangkah mendekat. Tangannya menyentuh permukaan kaca yang dingin, sementara matanya bergerak menelusuri pemandangan asing di luar sana. 

Seolah digerakkan oleh tangan yang tak kasat mata, Maya membuka jendela dengan lebar. Seketika, angin pagi menabrak wajahnya. Maya menatap ke bawah, tepat ke tanah yang jaraknya lebih dari sepuluh meter. 

Apakah terjun ke bawah sana akan membuatnya mati dan kembali ke tubuh aslinya? 

Saat itulah bola matanya tidak sengaja tertuju pada sepasang mata yang menatapnya tajam dari jendela lain. Mata sewarna samudra itu kembali menyadarkan Maya yang sempat hilang akal. Ia dengan cepat menjauh dari jendela.

Matanya bergetar ringan, menyadari jika kematian hanya tinggal sejengkal saja. Tidak, bukan seperti ini caranya. Maya tidak bisa mati begitu saja sebelum mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Maya ... masih ingin berkumpul kembali bersama ibu serta adiknya.

"Sadar, Maya. Kau tidak boleh selemah ini." Maya menampar pipinya sendiri, lalu mengusap jejak air mata yang ada di sana.

Setidaknya dengan tubuh yang sehat, Maya lebih percaya diri untuk menemukan keluarganya. Namun pertama-tama, ia harus mengetahui di manakah ia sekarang. 

Maya menyusuri kamar Raya, mencari apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Ia membuka laci, lemari dan membongkar meja belajar Raya.

Berdasarkan dari apa yang dilihatnya, Raya terlihat cukup jarang berada di kamarnya. Tidak ada aksesoris perempuan atau barang-barang lucu. Bahkan celana dan pakaian gelap lebih mendominasi lemarinya.

Maya mendadak merasa rendah diri. Bisakah ia menjalani kehidupan Raya? Dengan sikap orang-orang di sekitarnya yang dingin dan kasar saja, sudah membuat Maya ketakutan setengah mati.

Maya sejak kecil adalah kesayangan semua orang. Kepribadian lembut dan ceria meski memiliki penyakit ganas yang menggerogoti tubuhnya setiap detik. Setiap harinya, ia bercengkerama bersama keluarga kecilnya. Terkadang juga dengan para dokter, perawat, serta kerabat jauh.

Kehidupan Maya ... terlalu hangat jika dibandingkan dengan Raya.

Brakk!

Saat Maya masih sibuk melamun, pintu terbuka dengan kuat dari luar. Ia mengerutkan keningnya ketika menemukan dua pria dewasa dengan seragam serba hitam dan tubuh tegap.

"Nona, Anda baik-baik saja?" tanya salah satu dari mereka yang langsung diangguki Maya.

Sementara itu, pria lain terlihat mengunci jendela kamar dengan gembok hingga membuat Maya ternganga. Ia ingin protes, tetapi wajah menakutkan keduanya membuat Maya lebih dulu takut untuk sekadar bersuara.

Setelah memastikan jendela terkunci rapat, mereka kembali keluar. Tidak lupa menutup serta mengunci pintu. Maya menggigit pipi bagian dalamnya, menatap ke arah jendela dan pintu yang terkunci.

Maya merasa terisolasi. Di kehidupan lamanya, Maya memang tidak tinggal di lingkungan padat penduduk. Ibunya hampir tidak pernah mengizinkannya keluar sendirian. Jadi, interaksinya dengan orang-orang cukup terbatas.

Namun ..., kali ini terasa berbeda. Kamar ini lebih luas, mewah, dan indah. Akan tetapi, sama sekali tidak ada kehangatan. Baru satu malam ia di rumah ini, Maya sudah merasa kesepian. 

Tidak ada ibunya yang mencium keningnya dengan lembut. Tidak ada adiknya yang berceloteh menceritakan kegiatan sekolahnya. Maya kehilangan semuanya dalam sekejap.

Di sisi lain, Axel membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia masih merasa kesal karena Lexa terkesan 'membela' anak ja-lang itu. Yang Axel herankan, untuk apa ayahnya membawa pulang anak itu? Kenapa tidak dibiarkan telantar saja?

Padahal satu minggu ini rumah begitu tenang tanpa kehadiran Raya. Axel berdecak keras. Seharusnya anak itu mati saja.

"Si-al, anak ja-lang itu benar-benar membuatku kesal." Axel menendang meja belajarnya dengan kuat, membuat barang-barang di atas sana berjatuhan.

"Tapi kenapa sikapnya aneh? Tatapan matanya ... tidak seperti biasanya," gumam Axel setelah lebih tenang. Ia mengambil bukunya, menatanya kembali ke meja.

Ada yang berbeda dari tatapan mata Raya. Tidak ada pandangan menggebu-gebu penuh kemarahan yang biasanya ia lihat. Tidak ada juga kata-kata kasar yang selalu menyulut amarahnya.

Bagaimana kedua mata itu memandangnya takut-takut, entah mengapa terasa begitu ... polos. 

Axel menyisir rambutnya ke belakang. Sekali lagi menendang meja belajarnya. 

"Sia-lan!"
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
Posting Komentar
Search
Menu
Share
Additional JS