[BYT] Bab 11 - Sulung Adiwangsa
""A-aku tidak tahu apa yang Paman maksud. Aku jelas-jelas hilang ingatan karena kecelakaan itu," elak Maya terbata-bata. "
"A-aku tidak tahu apa yang Paman maksud. Aku jelas-jelas hilang ingatan karena kecelakaan itu," elak Maya terbata-bata.
Ia sungguh tidak menyangka Axel dan Lexa akan menceritakan rahasianya pada orang asing ini. Jangan bilang ... mereka juga mengatakannya pada Garry?
"Benarkah itu? You're not lying to me, are you, Little Mouse?" Pria itu meraih dagu Maya, memaksa gadis itu menatap ke arahnya.
Maya terpaku. Pupil matanya terlihat mengecil ketika saling bertatapan dengan iris sebiru samudra di hadapannya. "I'm telling you the truth ...." bisiknya terlampau pelan.
"Tapi aku tidak merasa demikian." Dia melepaskan dagu Maya, lalu beralih menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya.
"Aku membenci kebohongan. Tapi karena ini adalah kebohongan pertamamu, aku akan memaafkanmu." Meski tutur bicaranya lembut, pria itu jelas-jelas tengah berusaha mengintimidasi Maya.
Apakah Maya memang seburuk itu dalam berbohong? Bahkan tanpa memastikannya lebih dulu, dia tampak begitu yakin jika Maya memang mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya.
"You don’t recognize me at all, do you?" bisiknya.
"Kalau begitu, aku akan mengingatkanmu. I'm your other big brother. Just call me 'Kak Devon'— and I'll do anything to help you." Devon mengusap lembut pipi Maya. Tatapannya masih tertuju pada Maya, seolah sedang berusaha membaca apa yang gadis itu pikirkan.
"Kalau begitu, bisakah Kak Devon memberikan akses agar aku bisa keluar dari rumah ini?"
Sebaris seringai langsung terbentuk di bibir Devon. "Caught you!"
"Ternyata apa yang dikatakan si kembar memang benar. Kau bukan Raya. Karena Raya ... tidak akan pernah meminta bantuan pada seorang Adiwangsa."
Wajah Maya seketika memucat. Darah dari tubuhnya seperti tersedot habis. Ia tidak menyangka jika sulung Adiwangsa ternyata lebih menakutkan daripada Garry.
"Apa yang Kak Devon lakukan sampai membuat Maya sepucat ini?" Lexa yang baru saja datang, dengan sigap membantu Maya turun dari meja.
Devon terkekeh pelan. Ia menunduk, menatap kaki Maya yang sedikit bergetar. "Hanya menyapa adik baruku."
"Ah, right. Aku tidak ingin melihatmu mencoba membunuh dirimu sendiri untuk kedua kalinya. Dan tidak perlu bersusah payah menghancurkan gembok itu." Setelah memberikan tatapan terakhir pada Maya, pria itu melenggang pergi, meninggalkan Maya bersama Lexa yang masih merengkuh tubuhnya.
Lexa lantas membantu Maya duduk di kursi terdekat. Gadis itu dengan lembut mengusap puncak kepala Maya.
"Jangan dipikirkan. Begitulah Kak Devon," kata Lexa dengan nada datar. Ia memberikan usapan terakhir, sebelum kemudian matanya menemukan sosok Axel yang berjalan ke arahnya.
Maya mengangguk kaku. Gadis itu masih teringat bagaimana tatapan Devon yang seolah menembus jiwanya. Siapa pun tahu pandangan itu tidak sebaik yang terlihat.
Saat itulah Maya melihat Axel yang berjalan semakin dekat. Ia dengan cepat menoleh ke arah lain. Sejak apa yang terjadi sekolah, keduanya memang sama sekali belum bertukar kata.
"Maya, bisa kita bicara sebentar? Berdua." Axel mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Remaja itu berdiri canggung di depan Maya yang terang-terangan menolak menatapnya.
"Kita bisa bicara di sini." Maya menggenggam erat ujung pakaian Lexa, menahan gadis berambut pendek itu agar tidak meninggalkannya berdua dengan Axel.
"Axel won’t hurt you. I promise." Lexa melepas paksa tangan Maya, lalu melangkah pergi entah ke mana.
Maya ingin menyusul, tetapi Axel lebih dulu menahan tangannya. "Tunggu sebentar. Aku benar-benar tak akan mengatakan sesuatu yang akan menyakitimu lagi."
Axel mengembuskan napas dalam-dalam, lalu melepaskan genggaman tangannya dari Maya. Ia mengulum bibirnya sebentar. Tatapannya terlihat tidak fokus karena gugup.
"A-aku minta maaf. Perkataanku tadi siang benar-benar tidak termaafkan. Tapi ... aku tetap ingin meminta maaf. Can you please forgive me, Maya?" ucap Axel dengan pipi yang bersemu hangat.
Selama hidupnya, meminta maaf adalah salah satu hal yang hampir tidak pernah Axel ucapkan. Ia pantang meminta maaf meski tahu itu adalah kesalahannya.
Namun dengan Maya ..., entah mengapa terasa berbeda. Axel tidak bisa tenang. Ia terus merasa gelisah hanya dengan membayangkan tidak akan bisa berbicara lagi dengan gadis tersebut.
Terlebih untuk pertama kalinya, Axel benar-benar merasa bersalah dari lubuk hatinya.
"Aku memaafkan Kakak. Tapi tolong jangan mengatakan hal-hal seperti lagi. Rasanya sangat tidak menyenangkan di sini." Maya menunjuk dadanya, yang seketika membuat pandangan Axel melunak.
Pemuda itu menarik Maya ke pelukannya, kemudian memberikan ciuman lama di puncak kepala sang adik. "Maaf, maaf, maaf. Pasti sangat menyakitkan, ya?"
Maya mengangguk kecil. Dengan ragu, ia membalas pelukan Axel.
"Jangan khawatir tentang ujian kelulusan. Aku akan membantumu belajar. Kau akan mendapat nilai tertinggi nanti. Lihat saja," ujar Axel menyombongkan dirinya.
***
Maya menghela napas panjang saat ia membaringkan tubuhnya ke ranjang. Usahanya untuk mencari jalan keluar dari rumah ini benar-benar gagal total.
Tidak, Maya tidak bermaksud untuk pergi sekarang. Ia hanya sedang berusaha mencari rute untuk melarikan diri nanti. Bagaimana pun juga, Maya tidak bisa selamanya berada di tubuh Raya.
Ada ibu dan adiknya yang menunggunya kembali. Iya ... 'kan?
Di sisi lain, Lexa tengah mengerjakan tugas di kamarnya dengan Axel yang juga ada di sana. Tidak seperti Lexa, Axel justru disibukkan dengan ponselnya. Ia menggulir benda tipis itu dengan pelan, lalu berhenti saat menemukan sesuatu sesuai dengan apa yang dicarinya.
"Lexa, lihat ini." Axel menggeser kursinya lebih dekat, lalu menunjukkan layar ponselnya pada kakak kembarnya. Ada foto dari dua kalung dengan bentuk permata yang berbeda.
Kening Lexa mengerut selama beberapa saat, sebelum kemudian ekspresinya kembali datar. "Untuk Maya?"
Axel mengangguk semangat. "Yang bulat punya fitur lacak dan suara, lalu yang ini memiliki fitur lacak dan kamera secara real-time."
"Terlalu mencolok," komentar Lexa singkat.
"Bagaimana kalau ini?" Axel menunjukkan foto lain. Tidak seperti sebelumnya, bug yang tersembunyi di kalung ini sama sekali tidak terlihat mencolok.
"Hanya saja yang ini tidak memiliki fitur kamera," tambah Axel sedikit kecewa. Padahal menurutnya, akan seru jika melihat dunia dengan sudut pandang Maya.
Ah, benar. Mereka berencana membeli kalung yang sudah dilengkapi dengan bug untuk mengetahui gerak-gerik Maya. Mereka tidak ingin kecolongan. Bagaimana jika gadis itu tiba-tiba menghilang begitu saja?
Tidak. Axel dan Lexa tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi untuk kedua kalinya. Cukup sekali mereka kehilangan Maya. Kali ini ... tidak akan terjadi lagi.
"Itu sudah lebih dari cukup," balas Lexa ringan. Ia sudah membayangkan betapa menggemaskannya Maya saat menerima hadiah dari mereka.
"Baiklah, aku akan memesan edisi yang ini."

ayo uppp kaaaaa
BalasHapusDitunggu, yaa. Sekarang belum bisa up, kemungkinan kalau nggak besok ya Kamis (ʘᴗʘ✿)
HapusNext kakk
BalasHapusSudah up, Sayang ° ͜ʖ ͡ – ✧
HapusCERITA NYAA SERUUU BANGET KAA😻😻💗
BalasHapusLop lop ʕ*ノᴥノʔ
Hapusmakasih untuk author-nim yang udah bikin cerita seru polll dan aku enjoy banget tau pas baca💗💐
BalasHapusAwww, makasih juga karena udah baca dan ngasih komentar🌹
Hapusdemii cerita km baguss bgt kakk lovee sekebonnn (>︿<。)
BalasHapusASDFFGHJL, KAN JADI TERHARU AO BACANYA (〃∀〃)ゞ
Hapus