0
Home  ›  BYT  ›  Chapter

[BYT] Bab 10 - Kecurigaan Arkana

""Tidak. Aku tidak akan mengizinkan Raya menginap atau pergi ke rumahmu," sergah Axel yang tiba-tiba datang sambil merangkul pundak Maya dari belakang."

"Tidak. Aku tidak akan mengizinkan Raya menginap atau pergi ke rumahmu," sergah Axel yang tiba-tiba datang sambil merangkul pundak Maya dari belakang. 

"Kau adalah pengaruh buruk untuk adikku." Matanya tertuju tepat pada Sky— tajam, dingin, dan gelap. 

Sky menatap tidak terima. Ia sudah hendak menyerukan protes, tetapi Axel lebih dulu menarik Maya keluar dari kelas.

"Kita ke kantin. Lexa sudah memesan makan siang untuk kita," kata Axel menggebu-gebu. 

Maya tidak mengatakan apa pun. Gadis itu terlalu sibuk untuk menyesuaikan langkah lebar Axel. 

Setelah berjalan cukup lama, keduanya akhirnya sampai di kantin sekolah menengah atas. Maya menatap sekeliling dengan takjub. Beberapa murid terlihat mengantre, sementara yang lain sudah duduk dengan nyaman sambil menikmati makanan.

"Itu Lexa." Axel kembali menuntun Maya menuju salah satu meja di pojok kantin. Lexa ada di sana, tengah menggulir ponselnya. Di meja, sudah ada beberapa makanan yang tadi Lexa pesan. Semuanya masih utuh— belum tersentuh sedikit pun.

Begitu melihat adik kembarnya datang bersama Maya, Lexa langsung meletakkan ponselnya. Gadis itu menepuk kursi di sampingnya, mengisyaratkan agar Maya duduk di sana.

"Bagaimana kelasmu tadi?" tanya Lexa sesaat setelah Maya duduk di sampingnya.

Maya meringis. "Sulit," jawabnya jujur.

"Astaga, aku tidak tahu kau sebodoh ini. Apa saja yang kau pelajari saat kelas tujuh? Seharusnya kau sudah belajar sedikit-sedikit untuk mata pelajaran kelas delapan dan sembilan." Kalimat pedas Axel membuat Maya memainkan jari-jemarinya dengan gugup.

"Beberapa minggu lagi ujian kelulusan. Aku tidak tahu apa yang akan kau isi di kertas ujian nanti," tambah Axel sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Axel!" tegur Lexa dengan tatapan tajam yang mengarah tepat pada Axel. Ia merasa perkataan Axel sudah keterlaluan.

"Apa?! Bukankah apa yang kukatakan benar? Maya harus belajar cepat untuk mengejar ketinggalannya," cecar Axel tidak mau kalah. 

"Aku tidak pernah menginginkan kehidupan ini. Tolong berhenti menekanku. Aku bukan Raya." Untuk pertama kalinya, gadis itu berani mengungkapkan perasaannya. Matanya yang berkaca-kaca menatap Axel penuh kekecewaan.

Tanpa menunggu balasan, Maya berdiri, lalu melangkah pergi dari kantin. Meski tidak tahu harus ke mana, ia terus melangkahkan kakinya dengan cepat. Saat Axel ingin menyusul, Lexa lebih dulu menahan tangan remaja itu.

"Kau keterlaluan, Axel. Apa kau lupa jika Maya lebih muda dua tahun dari Raya?" Perkataan Lexa membuat Axel tertegun. 

Tidak. Axel tidak melupakan fakta tersebut. Masalahnya adalah ... Axel tanpa sadar memperlakukan Maya seperti bagaimana ia memperlakukan Raya.

"Si-al, aku yang terburuk ...."

***

Langkah Maya semakin pelan saat ia akhirnya kembali ke area sekolah menengah pertama. Maya mendudukkan dirinya di atas batu samping pohon.

Gadis itu masih mencoba mengatur napasnya yang berantakan, ketika tiba-tiba, sebuah buku menimpa kepalanya. Mengaduh pelan, Maya kemudian mengambil buku tersebut dan mendongak.

Matanya membulat saat menemukan Arkana yang tengah duduk di dahan pohon. Remaja itu menunduk, memandang Maya datar.

"Maaf," ucap Arkana singkat.

Maya mengangguk kecil. Bibirnya membentuk senyum kecil sebagai isyarat jika ia menerima permintaan maaf pemuda tersebut.

Setelah itu, tidak ada lagi yang mengeluarkan suara. Maya duduk dengan canggung, menatap semut-semut yang lewat dengan bosan.

"Itu ... apa kau pernah ke kota Y?" tanya Maya secara mendadak. 

"Beberapa kali," jawab Arkana tidak peduli. Remaja itu menatap Maya dari atas. Ada kerutan tipis di keningnya saat mendapati tingkah 'Raya' yang semakin tidak biasa.

Jangankan tersenyum atau mengajaknya berbicara dengan nada lembut, tidak mengejeknya selama satu hari saja sudah membuat Arkana bersyukur. Jadi ..., apa rumor tentang Raya yang kehilangan ingatannya itu memang benar?

"Dengan bus?" tanya Maya lagi. 

"Train." Jawaban dari Arkana lagi-lagi terlalu singkat. 

Maya memainkan tali sepatunya dengan gugup. Apa ia mengganggu waktu Arkana?

"Ohh, kereta, ya  ...." Maya mengulum bibirnya. Selama hidupnya, gadis itu belum pernah menggunakan transportasi umum tersebut.

Maya melirik buku milik Arkana yang ada di sampingnya. Ia meraihnya, lalu berdiri sembari menepuk-nepuk roknya.

"Ini, Arkana," ujar Maya seraya mengulurkan buku tersebut ke atas. Untungnya, Arkana duduk di dahan paling rendah. Sehingga mudah saja baginya untuk mengambilnya.

"Mau naik?" Arkana bertanya dengan nada datar.

Mata Maya membulat lucu. Gadis itu tidak menyangka Arkana akan menawarinya duduk bersama. 

"Tapi aku tak bisa memanjat pohon." Untuk berlari saja Maya dulu tidak mampu, apalagi memanjat pohon. Tubuhnya terlalu lemah untuk melakukan aktivitas yang bahkan tak terlalu berat.

Arkana menaikkan satu alisnya, tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya. Remaja itu hanya mengulurkan tangannya ke arah Maya.

Maya menatap Arkana, lalu ke tangan yang terulur padanya secara bergantian. Dengan ragu, Maya meraih tangan Arkana. 

"Aahk!" pekik Maya saat Arkana tiba-tiba menariknya ke atas dengan begitu mudah. 

Maya spontan memeluk lengan Arkana. Gadis itu menatap syok ke bawah, masih tidak percaya jika Arkana yang Sky anggap kutu buku ternyata memiliki kekuatan yang tak terduga.

"K-kau ...." Maya bahkan tidak tahu harus mengatakan apa.

"Apa?" 

Maya membuang muka begitu menyadari bahwa ia memeluk lengan Arkana. Ia ingin melepaskan tangannya, tetapi di mana lagi ia harus berpegangan?

Akhirnya, yang Maya lakukan hanyalah melonggarkan cengkeramannya, lalu menggenggam lembut lengan seragam Arkana.

"Bukan apa-apa," jawab Maya dengan semburat merah yang mulai mewarnai pipinya.

***

Maya berjalan mengendap-endap keluar dari kamarnya. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri. Setelah memastikan tidak ada siapa pun yang terlihat, ia berjalan cepat menuruni tangga. 

Ada dua penjaga yang menjaga pintu utama selama dua puluh empat jam. Jadi, tidak mungkin untuk keluar lewat sana. Maya mengedarkan pandangannya, lalu berjalan kecil menuju dapur.

Karena sudah malam, tidak ada satu pun pelayan yang ada di sana. Kaira menatap ke arah pintu yang terletak di belakang dapur.

Matanya langsung bersinar. Ia baru saja ingin menarik pegangan pintu, ketika seseorang tiba-tiba mengangkatnya ke udara.

Maya menahan teriakannya, tidak ingin membangunkan orang-orang di rumah ini. Orang itu kemudian membalikkan Maya dengan mudah. Tangan kokohnya mencengkeram pinggang Maya dengan lembut.

"Well ... hello, Little Mouse."

Maya mengerutkan keningnya, merasa tidak mengenal pria asing yang mengangkatnya seperti hewan ini. "Ha-halo juga, Paman."

"Aku bukan pamanmu," katanya sambil terkekeh kecil. Pria itu lalu mendudukkan Maya yang terlihat memelas sekaligus takut ke atas meja.

"Aku dengar kau kehilangan ingatanmu dan mengalami delusi— atau apa pun itu. Tapi si kembar justru mengatakan sesuatu yang aneh. Mereka berbicara tentang perpindahan jiwa. Katakan padaku, mana yang benar?"
Aouki
Support Ao via Trakteer biar makin semangat nulis (opsional, karena komentar dari kalian sudah lebih dari cukup ヾ(^-^)ノ)
Posting Komentar
Search
Menu
Share
Additional JS